Senin, 11 Agustus 2008

MONITORING DAN EVALUASI SITUS WARISAN DUNIA

(Disampaikan pada Penyuluhan dan Penyebaran Informasi Borobudur Sebagai Warisan Dunia di Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 13-14 Agustus 2008)

Borobudur sebagai monumen karya nenek moyang yang agung menjadi kebanggan bangsa Indonesia dan telah diakui dunia. Keagungan Borobudur bagaimanapun sulit dinilai karena tingginya nilai-nilai estetika, budaya, seni, arsitektur, hingga spiritual. Pengakuan dunia telah ditetapkan dalam predikat warisan dunia (World Heritage) oleh UNESCO No. 592 tahun 1991. Kriteria warisan dunia merupakan predikat yang resmi dan melalui tahap penilaian yang panjang. Situs yang masuk warisan dunia juga terus-menerus dievaluasi dan dimonitor oleh UNESCO.
Mengapa warisan dunia ?


Warisan dunia merupakan kriteria resmi oleh dunia internasional sehingga perlu disosialisaikan secara luas. Dahulu di sekolah-sekolah diajarkan bahwa Borobudur adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Meskipun sekarang ada kriteria resmi Borobudur sebagai warisan dunia, predikat tujuh keajaiban dunia seolah-olah tidak bisa dipisahkan dari Borobudur. Diperlukan upaya-upaya sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat bahwa pengakuan internasional terhadap Borobudur adalah dalam bentuk warisan dunia, bukan sebagai tujuh keajaiban dunia. Karena tujuh keajaiban dunia merupakan ukuran yang tidak resmi dan banyak versi, bahkan cenderung sebagai mitos. Bahkan, tujuh keajaiban dunia versi pertama (zaman Romawi kuna) sebagian sudah tidak ada lagi, sehingga kemudian muncul berbagai versi.
Pengumuman The New Seven Wonder pada tanggal keramat 07-07-07 yang dipilih melalui pooling internet hanya akan menambah versi, dari berbagai versi yang telah ada. Singkat kata, predikat tujuh keajaiban dunia merupakan kriteria yang tidak dapat dijadikan pedoman dalam mengukur keagungan Borobudur. Sebaliknya warisan dunia yang resmi dikeluarkan oleh UNESCO sebagai sebuah lembaga internasional di bawah PBB, menjadi penting untuk terus disosialisasikan.

Mengapa Borobudur bisa ditetapkan sebagai warisan dunia ?
Borobudur ditetapkan sebagai warisan dunia tahun 1991 dengan nomor 592 setelah melalui proses penilaian yang panjang. Borobudur bisa ditetapkan karena mempunyai “Outstanding universal value” atau nilai universal yang luar biasa. Outstanding universal value adalah signifikansi (makna penting) budaya dan/ atau alam yang sangat luar biasa sehingga melampaui batas nasional dan memiliki arti penting bagi generasi sekarang maupun mendatang dari semua umat manusia.
UNESCO menetapkan enam kriteria Outstanding universal value, suatu situs dapat ditetapkan sebagai warisan dunia. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
(i) Mewakili suatu mahakarya (masterpiece) kejeniusan kreatif manusia;
(ii) Menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, dalam suatu rentang waktu atau dalam suatu kawasan budaya di dunia, dalam pengembangan arsitektur atau teknologi, karya monumental, tata kota atau desain lanskap;
(iii) Memiliki keunikan atau sekurang-kurangnya pengakuan luar biasa terhadap tradisi budaya atau peradaban yang masih berlaku maupun yang telah hilang/ punah;
(iv) Merupakan contoh luar biasa dari suatu jenis bangunan, arsitektural atau himpunan teknologi atau lanskap yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah manusia;
(v) Merupakan contoh luar biasa tentang pemukiman tradisional manusia, tata-guna tanah, atau tata-guna kelautan yang menggambarkan interaksi budaya (atau berbagai budaya), atau interaksi manusia dengan lingkungan, terutama ketika pemukiman tersebut menjadi rentan karena dampak perubahan yang menetap (irreversible)
(vi) Secara langsung atau nyata dikaitkan dengan peristiwa atau tradisi yang berlaku, dengan gagasan, atau dengan keyakinan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai universal yang signifikan (komite menganggap bahwa kriteria ini lebih baik digabungkan dengan kriteria lain)
Borobudur dinilai oleh UNESCO memenuhi kriterian (i), (ii), dan (vi).

Bagaimana dengan situs lainnya di Indonesia ?
Saat ini ada tiga situs budaya yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia yaitu ;
• Borobudur Temple Compound C 592/1991
• Prambanan Temple Compound C 593/1991
• Sangiran Early Man Site C 642/1996
Situs lain yang masuk dalam tentative list (Daftar sementara) UNESCO yaitu ;
• The Culture Landscape of Bali Province (2007) – C1194
• Tana Toraja Traditional Settlement (2008) – C1038

Dan beberapa situs lain masuk dalam daftar sementara pada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala dan Menko Kesra, untuk diajukan selanjutnya ;
1. The Living Megalthic Culture of Nias Island
2. Ancient City of Majapahit
3. Prehistoric Cave of Maros Pangkep
4. Hindu Temple of Muara Takus
5. Banten Ancient City
6. Belqica Fort
7. Besakih
8. Elephant Cave
9. Great Mosque of Demak
10. Gunongan, Aceh
11. Ngada, Megalithic
12. Penataran Temple
13. Penyengat Island
14. Ratu Boko Temple Complex
15. Sukuh Hindu Temple
16. Waruga Burial Complex
17. Yogyakarta Palace Complex

Bagaimana Proses Pengusulan dan Nominasi ?
Pengusulan warisan dunia dilakukan oleh pihak “State Party”, yang berarti harus dilakukan oleh lembaga pemerintah yang bertanggung jawab secara langsung. State party menyusun dan mengajukan situs warisan budaya dalam wilayahnya yang telah dikaji/ dipertimbangkan memenuhi kriteria Outstanding Universal Value. Situs-situs yang berpotensi diajukan sebagai warisan dunia dimasukkan dalam tentative list oleh Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala dengan Pokja Warisan Dunia di Kementrian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat. Selanjutnya dilakukan penyusunan Dossier atau Dokumen Nominasi dan Manajemen Plan dan dikirimkan bulan Februari.
Dokumen tersebut direview oleh World Heritage Committe. Apabila dalam pemeriksaan masih dinyatakan dokumen belum komplit, maka akan dikembalikan ke state party untuk diperbaiki dan diusulkan kembali September – Januari tahun berikutnya. Apabila dokumen dinyatakan komplit, maka dokumen akan direview oleh ICOMOS (International Council on Monuments and Sites) dan atau IUCN (International Union for Conservation of Nature) selama 18 bulan. Selanjutnya dilakukan review di lapangan/ situs yang diusulkan. Situs kemudian ditetapkan sebagai tentative list oleh UNESCO. Penetapan world heritage dilakukan pada sidang tahunan World Heritage Committee. Pada sidang ini diputuskan apakah situs yang diusulkan dapat dimasukkan dalam daftar atau ditolak.

Dapatkan situs warisan dunia dibatalkan/ dicoret ?
Bisa. Apabila dalam monitoringnya diketahui bahwa tidak dikelola dengan baik sesuai dengan standar pengelolaan warisan dunia yang ditetapkan dalam guideline. Monitoring bertujuan untuk melakukan pemantauan terhadap penyelenggaran upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan benda cagar budaya atau situs warisan dunia sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.

Bagaimana Monitoringnya ?Monitoring yang dilakukan oleh UNESCO terhadap situs yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia terdiri dari dua mekanisme sebagai berikut :
1. Periodic Reporting; Laporan berkala 6 tahunan tentang penerapan Konvensi Warisan Dunia, termasuk kondisi keterawatan properti yang dimiliki.
2. Reactive Monitoring, Laporan tentang kondisi keterawatan properti yang sedang dalam keadaan terancam yang dibuat oleh Pusat Warisan Dunia, sektor lain di UNESCO, dan badan penasehat kepada Komite Warisan Dunia.
Tujuan dari periodic reporting adalah untuk :
1. Menyajikan penilaian terhadap upaya penerapan Konvensi Warisan Dunia oleh negara peserta (to provide an assessment of the application of the World Heritage Convention by the State Party);
2. Menyajikan penilaian terhadap nilai warisan dunia yang harus tetap terjaga dari waktu ke waktu (to provide an assessment as to whether the World Heritage values of the properties inscribed on the World Heritage List are being maintained over time);
3. Menyajikan informasi terkini dari properti untuk merekam perubahan keadaan dan kondisi keterawatan dari properti (to provide up-dated information about the World Heritage properties to record the changing circumstances and state of conservation of the properties);
4. Menyajikan sebuah mekanisme kerjasama regional serta pertukaran informasi dan pengalaman di antara negara peserta tentang implementasi Konvensi dan Konservasi warisan dunia (to provide a mechanism for regional co-operation and exchange of information and experiences between States Parties concerning the implementation of the Convention and World Heritage conservation).
Sedangkan reactive monitoring bersifat khusus terhadap situs warisan dunia yang dinilai perlu mendapat perhatian khusus. Yaitu pada situs yang dikelola dengan tidak sesuai guideline dan terindikasi adanya ancaman-ancaman kerusakan. Reactive monitoring memiliki sifat sebagai berikut :
• Pelaporan oleh Pusat Warisan Dunia, sektor lain dari UNESCO, dan badan penasehat kepada Komite Warisan Dunia tentang kondisi keterawatan Warisan Dunia yang sedang dalam kondisi terancam;
• Reactive monitoring sering dipandang sebagai prosedur penghapusan properti dari Daftar Warisan Dunia.
• Reactive Monitoring juga dipandang sebagai acuan dalam menetapkan properti masuk atau tidak ke dalam Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya
Oleh karena itu, negara peserta dihimbau untuk melaporkan kepada Komite Warisan Dunia suatu kondisi khusus dan studi-studi dampak setiap kali terjadi keadaan khusus atau terdapat pekerjaan yang dapat memberi efek pada kondisi keterawatan properti
Laporan monitoring yang dilakukan oleh pihak Indonesia secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Mengacu pada management plan yang dibuat untuk setiap warisan dunia
2. sesuai ketentuan peraturan yang ada + aturan dalam Konvensi Warisan Dunia
3. menilai kondisi keterawatan warisan dunia dalam dimensi pelestarian masa kini
4. secara koordinasi dengan pihak-pihak terkait
– Depbudpar: pihak yang bertanggung jawab terhadap urusan teknis Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage)
– Memko Kesra: vocal point Indonesia untuk urusan Warisan Dunia
– Lembaga Swadaya Masyarakat

Apakah Semua Masyarakat Indonesia telah mengetahui Borobudur sebagai warisan dunia
?????


Apakah Semua Masyarakat Indonesia telah mengenal warisan dunia yang kita miliki ?????

Baca selengkapnya...

Minggu, 20 Juli 2008

MISTERI BAHAN LUKISAN PRASEJARAH MAROS-PANGKEP


Nahar Cahyandaru, S.Si, Yudi Suhartono, M.A, Riyanto P Lambang
(Balai Konservasi Peninggalan Borobudur)
Dr. Nuryono
(Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Gadjah Mada)

Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya yang bisa digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kekayaan sumber daya budaya dapat berupa fisik maupun non fisik. Salah satu kekayaan tersebut adalah sumberdaya arkeologi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Salah satu kawasan yang banyak mengandung sumberdaya arkeologi adalah kawasan pegunungan kapur Maros dan Pangkep di Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan pegunungan kapur (karst) terdapat gua-gua yang pada masa prasejarah dihuni oleh manusia. Terpilih gua sebagai tempat bermukim manusia tidak terlepas dari tersedianya sumberdaya alam yang terdapat pada lingkungan sekitar gua. Selain sebagai tempat tinggal, dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua (Stern, 1973 dalam Linda, 2005).

Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (Kosasih, 1983). Menurut H.R. Van Hekeren (1972 dalam Permana, 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di Sulawesi Selatan berlangsung sejak pertengahan atau penghujung kala Pleiostosen akhir yakni sekitar 50.000 hingga 30.000 tahun sebelum Masehi.
Setelah ribuan tahun ditinggalkan, kini lukisan dinding gua di Kabupaten Maros dan Pangkep telah banyak mengalami kerusakan karena proses pelapukan dan pengelupasan kulit batuan terus berlanjut. Lukisan pada dinding gua prasejarah umumnya mengalami kerusakan yang sama, selain terjadi pengelupasan juga terjadi retakan mikro dan makro. Di samping itu di beberapa tempat warna lukisan memulai memudar terutama lukisan yang terletak di bagian dinding depan mulut gua. Demikian pula proses inkrastasi (pengendapan kapur) terus berlanjut, hampir semua gua terjadi proses pengendapan kapur pada kulit batuan gua, coretan spidol dan goresan benda tajam juga banyak dijumpai (Said, dkk, 2007).
Meskipun banyak yang telah mengalami kerusakan, keberadaan lukisan prasejarah yang mampu bertahan selama puluhan ribu tahun tersebut sangat menggugah untuk dikaji. Banyak pertanyaan yang timbul mengenai lukisan tersebut, mulai dari bahan yang digunakan, metode peramuan dan aplikasinya, hingga interaksinya dengan dinding gua dan lingkungan sehingga mampu bertahan dalam kurun waktu yang sangat lama.
Pengetahuan mengenai bahan lukisan tersebut sangat penting untuk dikaji secara mendalam sebagai bagian dari usaha konservasi. Berbagai manfaat dapat diambil apabila pertanyaan mengenai bahan yang digunakan pada lukisan tersebut dapat terungkap. Manfaat tersebut antara lain dapat diketahui interaksi bahan tersebut dengan dinding dan lingkungan, sehingga dapat digunakan untuk merumuskan metode konservasinya. Manfaat yang lain adalah dapat dijadikan acuan dalam melakukan restorasi lukisan yang hilang/ mengelupas jika diperlukan. Dan yang lebih penting adalah dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan untuk mengungkap pola kehidupan masa lalu dan kearifan budayanya.
A. Tinjauan Pustaka (Penelitian Terdahulu yang Relevan)
Sulitnya mengungkap bahan yang digunakan pada lukisan menyebabkan hingga saat ini belum ada statemen yang pasti mengenai jenis bahan lukisan maupun cara aplikasinya. Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan adalah laporan survey, serta laporan studi konservasi dan observasi yang dilakukan oleh Samidi (1985 dan 1986). Pada laporan tersebut dilakukan survey kerusakan dan beberapa tindakan konservasi.
Tindakan konservasi yang dilakukan meliputi konsolidasi dengan beberapa bahan dan restorasi lukisan. Restorasi dilakukan pada lukisan yang mengelupas dengan bahan oker hematit yang dicampur dengan bahan pengikat. Bahan pengikat yang diujicoba adalah Paraloid B-72 dan EPIS yang merupakan bahan kimia sintetis dan Tuak sebagai bahan alami. Meskipun tidak secara langsung menyebut bahan lukisan terbuat dari hematit, Samidi telah menggunakan hematit sebagai pigmen pengganti. Dengan kata lain Samidi telah menduga bahwa bahan pewarna lukisan yang digunakan adalah hematit. Pemilihan hematit sebagai bahan pewarna oleh Samidi didasarkan pada masyarakat tradisional Toraja yang menggunakan hematit untuk membuat pewarna pada hiasan rumah adat.
Beberapa peneliti terdahulu juga telah menyebutkan dugaan warna merah berasal dari hematit. Dugaan ini didasarkan atas temuan hematit yang terdapat di Leang Burung 2 dan Pattae. Temuan hematit di Leang Burung 2 diperoleh pada penggalian yang dilakukan oleh I.C. Glover pada tahun 1973. Hematit ini ditemukan pada berbagai lapisan bersama-sama dengan temuan batu inti dan alat serut. Hematit yang ditemukan berupa pecahan seperti batu merah dan tampak adanya alur-alur yang diduga sebagai akibat dari usaha manusia untuk memanfaatkannya (Glover, 1981 dalam Restiyadi, 2007). Hematit di Leang Pattae ditemukan oleh Van Hekeren tahun 1950. Selain itu ditemukan pula alat-alat batu berupa mikrolit, serpih, mata panah dan kapak genggam Sumatera. Kapak genggam Sumatera ini diduga pernah digunakan sebagai bahan pukul atau batu giling karena pada beberapa bagiannya tempak bekas-bekas warna merah (Heekeren, 1965 dalam Restiyadi, 2007). Hematit bukanlah perwarna instant yang siap dipakai, akan tetapi diperlukan sebuah proses pengolahan terlebih dahulu yaitu proses dari hematit padat ke pewarna cair. Melalui temuan hematit dan adanya tanda-tanda pengerjaan yang ditemukan oleh Glover dan Hekeren, dapat diduga adanya persiapan-persiapan (pra produksi) sebelum produksi lukisan gua (Restiyadi, 2007).
Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Sadirin (1998). Pada penelitian tersebut dicoba usaha untuk membuat dugaan campuran yang digunakan dengan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan (sirih, gambir, dan pinang). Namun sayang laporan penelitian tersebut tidak tersimpan di BP3 Makassar, sehingga sulit untuk digunakan sebagai dasar pijakan teoritis. Menurut keterangan pegawai BP3 yang terlibat, hasil penelitian yang menggunakan bahan-bahan alami tumbuh-tumbuhan tersebut pada awalnya cukup baik, namun tidak dapat bertahan lama. Dalam waktu beberapa bulan sudah memudar.
B. Kerangka Berfikir dan Observasi Lapangan
Untuk membuat dugaan dan analisis lebih lanjut mengenai bahan lukisan beberapa dasar pemikiran yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Bahan yang digunakan merupakan material anorganik. Bahan organik merupakan bahan yang relatif mudah terurai, sehingga bahan anorganik lebih mungkin untuk dapat bertahan hingga puluhan ribu tahun. Hal ini telah dibuktikan oleh Sadirin (1998) yang menggunakan bahan organik ternyata hanya mampu bertahan beberapa bulan.
2. Tanpa menafikkan adanya kearifan budaya, tingkat ilmu pengetahuan manusia prasejarah belumlah begitu tinggi, sehingga campuran yang digunakan bersifat relatif sederhana. Ramuan yang digunakan diduga tidak sangat kompleks dan rumit.
3. Sumber bahan yang digunakan berasal dari wilayah yang tidak terlalu jauh dari situs.
4. Kelekatan lukisan pada dinding gua yang kuat mengindikasikan adanya interaksi kimia yang efektif. Pengelupasan yang terjadi umumnya merupakan pengelupasan lapisan dinding, bukan lapisan lukisan yang terkelupas.
Oleh karena itu tim penulis berupaya membuat hipotesis mengenai bahan lukisan dan teknologi campurannya. Untuk mendukung hipotesis maka diupayakan untuk mencari fakta-fakta dan bukti di lapangan. Berdasarkan survey yang dilakukan diperoleh hal-hal sebagai berikut :
1. Ditemukan mineral merah (hematit ?) disekitar situs. Berdasarkan observasi juga ditemukan bahwa mineral merah tersebut merupakan mineral yang menyusun struktur karst. Namun mineral tersebut bersifat lunak sehingga mudah terlarut (tergerus) oleh air. Keberadaan mineral tersebut saat ini tidak lagi melimpah karena sifatnya yang rapuh. Namun jejaknya masih dapat dilihat dengan mudah, yaitu berupa pecahan-pecahan pada sampah dapur, dijumpai sebagai bongkahan di tanah, dan lapisan merah pada permukaan dinding karst yang dilewati air. Banyak dijumpai dinding karst yang berwarna merah secara alami, diduga ada mineral merah diatasnya yang tergerus oleh air kemudian mengendap pada permukaan. Penelusuran di sungai juga menunjukkan bahwa sungai banyak mengandung endapan mineral merah, termasuk pasirnya yang berwarna kemerahan akibat bercampur dengan mineral merah yang halus. Survey di Sumpang bita menemukan banyak bongkahan mineral merah di wilayah kaki karst dari penggalian tanah oleh penduduk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mineral merah (hematit ?) merupakan mineral yang kelimpahannya tinggi di pegunungan karst Maros-Pangkep terutama pada masa lampau.
2. Observasi vegetasi di sekitar situs menemukan tumbuhan khas yang hampir selalu ada di sekitar situs adalah pohon asam dan pohon lontar (Talla; makassar, Siwalan; Jawa). Meskipun belum tentu berhubungan dengan lukisan, namun vegetasi ini juga perlu mendapat perhatian pada saat mempertimbangkan jenis campurannya.
3. Observasi terhadap hasil pengujian dari penelitian Samidi (1986) yang mengejutkan adalah dapat bertahannya campuran hematit dengan air tuak. Sampai observasi terakhir oleh tim penulis lapisan tersebut masih bertahan dan cukup kuat, meskipun pada awalnya diragukan oleh peneliti sendiri. Fakta ini perlu diungkap secara ilmiah sehingga dapat mendukung hipotesis-hipotesis selanjutnya.

Dasar teori yang digunakan untuk berpijak adalah teori mengenai pembentukan stalaktit pada gua (Reaksi karstifikasi). Reaksi kimia yang terjadi pada pembentukan stalaktit tersebut adalah sebagai berikut ;
- Reaksi air dengan CO2 diudara
H2O + CO2 -----> H2CO3
- Asam karbonat (H2CO3) bereaksi dengan kapur
H2CO3 + CaCO3 ------> Ca2+ + 2 HCO3- (larut)
- Reaksi menghasilkan seyawa bikarbonat (HCO3-) yang larut
- Senyawa bikarbonat kembali menjadi karbonat yang keras, sehingga terbentuk stalaktit
Ca2+ + 2 HCO3- ------> CaCO3 (keras) + H2O + CO2

Secara ringkas dapat dituliskan :
Karbonat (keras) + asam ------> Bikarbonat (larut) ------> Terurai kembali menjadi Karbonat (keras)

C. Hipotesis dan Pengujiannya
Berdasarkan kerangka berfikir dan hasil observasi di atas maka disusun beberapa hipotesis yang akan diuji lebih lanjut melalui serangkaian analisis dan percobaan. Adapun hipotesis yang dikemukakan adalah :
1. Bahan pewarna (pigmen) yang digunakan berasal dari mineral merah (hematit ?) yang banyak terdapat di sekitar situs.
2. Bahan pengikat yang digunakan agar dapat melekat dengan kuat pada dinding karst adalah bahan alami yang bersifat asam (sedikit asam). Bahan pengikat tersebut tidak bersifat seperti perekat tetapi menggunakan prinsip pembentukan stalaktit di atas. Yaitu bahan asam bereaksi dengan dinding karst menyebabkan permukaan karst yang berkontak dengan larutan pewarna menjadi larut sementara, kemudian mengeras kembali dan bahan warna terikat (berinteraksi secara kimia).
3. Bahan alami bersifat asam dapat berupa berbagai ekstrak tumbuhan, pada umumnya ekstrak tumbuhan memang bersifat asam. Tim penulis memilih jenis vegetasi endemik yang hampir selalu dijumpai di setiap situs yaitu buah asam dan air buah lontar. Sebagai perbandingan diuji juga larutan asam cuka, serta ekatrak gambir dan pinang.
Hipotesis tersebut masih bersifat dugaan sehingga perlu dilakukan pengujian untuk membuktikan kebenarannya. Pengujian yang dilakukan meliputi serangkaian analisis dan percobaan sebagai berikut :
1. Analisis terhadap bahan lukisan dengan analisis elemental kimia dan analisis intrumental modern. Instrumental yang direncanakan adalah spektroskopi XRD untuk analisis mineral, dan FTIR untuk analisis gugus fungsi. Untuk mempermudah interpretasi dilakukan analisis terhadap sampel lukisan, mineral merah, dan batuan dinding gua. Analisis ini sekaligus menguji jenis mineral merah tesebut apakah benar hematit atau bukan.
2. Percobaan pembuatan campuran bahan lukisan dengan bahan mineral merah dan beberapa bahan pencampur. Bahan pencampur yang diuji adalah larutan asam 10 %, Air buah lontar segar, Air buah lontar yang telah didiamkan satu hari (telah asam), Ekstrak daun sirih, Ekstrak buah pinang, Ekstrak daun sirih + buah pinang, Larutan asam cuka, dan Akuadest sebagai kontrol.
3. Bahan percobaan dioleskan pada permukaan batu karst percobaan yang diambil dari sekitar situs, dan diuji ketahanannya.
D. Penutup
Setelah diketahui bahan pewarna yang digunakan melalui pengujian hipotesis diatas, maka dapat dilakukan tahap-tahap selanjutnya. Tindakan konservasi yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian adalah memperlambat pelapukan dan pengembalian dengan rekonstruksi. Konsep konservasi yang dikemukakan oleh penulis dalam melakukan tindakan adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan bahan-bahan alami. Bahan asli pembuatan benda-benda bersejarah merupakan bahan-bahan alami sehingga pada rekonstruksinya juga diusahakan menggunakan bahan-bahan alami. Bahan alami juga diharapkan bersifat lebih ramah terhadap objek dan lingkungannya.
2. Sedikit mungkin menggunakan bahan kimia sintetis.
3. Diupayakan bersifat reversible, artinya rekonstruksi yang dilakukan tidak bersifat tetap dan merusak. Sehingga pada saat ditemukan masalah atau kesalahan aplikasi, masih dapat dikembalikan pada kondisi sebelum rekonstruksi.
4. Perlu memperhatikan teknik aplikasi yang sesuai dengan objek aslinya, sehingga hasilnya selaras dan bernilai estetika tinggi. Sebagai contoh pembuatan garis-garis lukisan pada gambar badan babi rusa agar disesuaikan dengan pola garis lukisan aslinya. Dalam hal ini perlu melibatkan ahli (kurator)
Teknik rekonstruksi bagian yang mengelupas adalah dengan mengembalikan pengelupasan terlebih dahulu, tidak langsung dilukis pada bagian yang sudah mengelupas. Sehingga perlu dikembangkan bahan penutup pegelupasan yang bersifat alami dan reversibel. Selanjutnya pewarna untuk rekonstruksi digambar di atas permukaan lapisan tersebut. Pada studi ini dikembangkan bahan pelapis dari serbuk karst yang dicampur dengan bahan pengikat. Bahan pengikat yang dicoba adalah gamping (kapur bangunan) dan larutan cuka. Dengan cara ini diharapkan diperoleh metode konservasi efektif yang menggunakan bahan tradisional dan bersifat reversibel.

Daftar Pustaka
Kosasih, S.A. 1983. “Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta, hal 158-175
Linda, 2005. Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM
Restiyadi, Andri 2007. “Diskursus Cap Tangan Negatif Interpretasi Terhadap Makna dan Latar Belakang Penggambarannya di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan” dalam Artefak Edisi XXVIII. Yogyakarta : Hima UGM
Samidi, 1985. Laporan Hasil Survey Konservasi Lukisan Gua Sumpang Bita dan Pelaksanaan Konservasi Lukisan Gua Pettae Kerre, Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan
Samidi, 1986, Laporan Konservasi Lukisan Perahu/ Sampan si Gua Sumpang Bita (Tahap Awal) dan Konservasi Lukisan Babi Rusa di Gua Pettae Kerre (Penyelesaian), Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan

Baca selengkapnya...

Kamis, 15 Mei 2008

Peninggalan Megalitik Pasemah dan Permasalahan Konservasinya


Peninggalan megalitik merupakan benda bernilai sejarah tinggi karena berasal dari zaman prasejarah, jauh sebelum manusia mengenal tulisan. Indonesia memiliki peninggalan megalitik yang cukup banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Salah satu peninggalan megalitik penting yang ada adalah megalitik pasemah di wilayah Sumatra bagian selatan. Saat ini peninggalan megalitik pasemah lokasinya tersebar di wilayah administratif Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam. Daerah ini terletak di antara Bukit Barisan dan Pegunungan Gumay, di lereng Gunung Dempo.

Keberadaan peninggalan situs megalitik Pasemah mulai terangkat setelah penelitian yang dilakukan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870, Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun 1927. Pada awalnya hampir semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi tempat tersebut dan melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan berbeda dengan penelitian terdahulu. Ia pendapat bahwa peninggalan megalitik di Pasemah tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah Pasemah, ia menghasilkan publikasi lengkap tentang megalitik di daerah tersebut.
Nilai penting tinggalan megalitik Pasemah terutama adalah pada ketuaan usianya, yang diperkirakan sekitar 2000 tahun sebelum masehi atau sekitar 4000 tahun yang lalu. Kita dapat membayangkan pada masa itu kebudayaan manusia di dunia masih belum terlalu berkembang, namun di tanah Pasemah telah hidup budaya masyarakat yang cukup maju.
Kemajuan budaya nenek moyang tersebut dapat dilihat dari tinggalan yang ada. Menurut Wijaya (2007) semua patung peninggalan budaya Megalitik yang kini masih ada di dataran tinggi Pasemah, seperti di dusun Tinggi Hari, Pulau Panggung (Tanjung Sirih), Geramat, Karang Dalam, Tebingtinggi, Pagaralam Pagun, Belumai, Tanjung Aro, serta Tegur Wangi, menunjukkan karakter dinamis. Misalnya, patung “Macan Kawin” -berdasarkan penyebutan masyarakat setempat yakni di Dusun Pagaralam Pagun- menunjukkan gerak dan sikap tubuh yang tidak simetris dan terlihat atraktif.
Pada artefak-artefak sezaman itu di Jawa, tidak ditemukan patung-patung utuh atau lengkap seperti di Pasemah. Yang ditemukan, berupa dolmen (batu besar penutup kubur), menhir (tiang batu besar, monumen), atau lumpang batu. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, yang hingga kini masih berlangsung tradisi megalitik itu, juga tidak ditemukan patung-patung sedinamis dan selengkap patung-patung di Pasemah. Yang ada, hanya patung-patung berbentuk totem (hanya kepala dan badan) yang bersifat kaku. Ini menunjukkan pematung-pematung lahir dari sebuah kebudayaan yang memiliki cita rasa seni dan budaya yang tinggi. Menariknya, kebesaran karya patung-patung di Pasemah ini, pada zaman itu, hanya berada di Pasemah. Pada waktu yang sama, di Eropa dan sebagian besar Asia, serta Amerika dan Afrika, hanya ditemukan patung-patung berbentuk totem dan artefak megalitik lainnya yang bersifat statis atau kaku.
Kemajuan budaya masa itu juga dapat diamati dari arca-arca yang ada. Arca-arca manusia di situs Tinggi Hari, Tanjung Telang, Tegur Wangi, Belumai, dan Geramat telah memakai atribut yang menunjukkan kemajuan budaya. Hal ini dapat diamati dari pakaian, hiasan kepala, kalung, hingga gelang kaki yang dikenakan. Interaksi manusia dengan binatang juga menunjukkan kemajuan budaya, misalnya manusia menunggang kerbau (situs Belumai), manusia menunggang rusa (situs Geramat), manusia menggendong gajah (situs Tanjung Telang), dan manusia dililit ulat (situs Tanjung Aro).
Kemajuan budaya dengan teknologinya dapat juga dilihat dari kemampuan nenek moyang dalam mengatur batu-batu yang berukuran sangat besar, misalnya pada pembuatan kubur batu. Penguasaan teknologi juga dapat dilihat dari adanya lukisan dinding dalam kubur batu. Sebagain besar lukisan telah hilang namun jejak-jejaknya masih dapat ditemukan dengan jelas di situs Tanjung Aro, dan situs Gunung Megang (Jarai).
Berdasarkan uraian di atas kita harus mulai menyadari bahwa tinggalan megalitik Pasemah memiliki nilai budaya yang sangat tinggi sehingga harus dilestarikan dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan paradigma yang dikembangkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, konsevasi situs meliputi pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan. Ketiga hal ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan agar kelestarian situs, dalam arti bendanya maupun nilai-nilai yang terkandung tetap terjaga.
Permasalahan Konservasi
Permasalahan pelestarian yang dihadapi situs megalitik Pasemah sebagaimana situs lainnya adalah kondisinya yang telah rapuh akibat usia, dan pengaruh lingkungan yang memicu pelapukan. Lingkungan situs yang terbuka menyebabkan benda cagar budaya (BCB) selalu terkena hujan, sinar matahari, angin, dan kelembaban secara terus-menerus selama ribuan tahun. Faktor-faktor tersebut akan memicu terjadinya pelapukan secara kimia, dan juga memicu pertumbuhan organisme perusak batu. Berdasar penelitian, organisme perusak batu yang banyak dijumpai adalah lumut (moss), jamur kerak (lichene), ganggang (algae), dan tumbuh-tumbuhan.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab, dalam hal ini Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3-Jambi) adalah dilakukan tindakan konservasi secara periodik. Setiap periode waktu tertentu situs-situs tersebut diberi perlakuan perawatan yang meliputi pembersihan, treatment dengan bahan kimia jika perlu, dan dibenahi lingkungannya. Untuk melindungi benda dari pengaruh hujan dan sinar matahari, beberapa situs telah dilengkapi dengan cungkup dan pagar besi. Proses pelapukan benda pada dasarnya tidak dapat dihentikan karena merupakan peristiwa alamiah. Tindakan konserasi yang dilakukan hanyalah upaya untuk memperlambat proses tersebut, sehingga dapat dipertahankan hingga anak cucu nanti.
Tantangan selanjutnya setelah BCB tersebut dilestarikan –sesuai paradigma yang dikembangkan Depbudpar di atas- adalah optimalisasi pemanfaatannya. Usaha keras pelestarian ini tidak terlalu berarti jika tidak diikuti dengan pemanfaatan, seperti pariwisata budaya, pendidikan, penelitian, dan sebagainya. Sehingga kekayaan budaya yang dimiliki dan telah dilestarikan tersebut dapat memberi manfaat yang besar bagi pengembangan budaya daerah dan budaya bangsa, sekaligus bermanfaat secara ekonomi akibat kegiatan pariwisata. Beradasarkan informasi dalam buku tamu yang disimpan Juru Pelihara di tiap-tiap situs ternyata pengunjung yang datang cukup banyak, termasuk pengunjung mancanegara (antara lain Jepang, Taiwan, Amerika, Australia, Austria, Perancis, Jerman, dan lain-lain). Potensi ini tentu saja harus digarap dengan serius dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Setelah pelestarian dan pemanfaatan, pengelolaan situs selanjutnya adalah pengembangan. Terobosan-terobosan baru perlu dilakukan untuk pengembangan situs yang sejalan dengan nilai-nilai budaya BCB dan kaidah arkeologis. Pengembangan prasarana wilayah perlu dikoordinasikan dengan semua pemangku kepentingan dan dinas-dinas terkait. Sehingga akses jalan untuk mencapai lokasi menjadi mudah, dan fasilitas bagi pengunjung juga memadai. Di masing-masing lokasi bisa juga dikembangkan sarana pendukung, misalnya gardu pandang, paket wisata alam atau pedesaan, mini musem, pusat informasi, kios makanan-minuman tradisional, kios souvenir, dan lain-lain.
Selain pengembangan prasarana untuk pariwisata juga perlu dikembangkan berbagai aktivitas lain yang mendukung pengembangan apresiasi nilai-nilai budaya peninggalan Pasemah. Pelajar dapat didekatkan dengan kekayaan budayanya dengan kemah budaya misalnya, di lokasi sekitar situs dengan diskusi budaya yang intensif. Berbagai kegiatan penelitian perlu dikembangkan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk mengungkap lebih dalam nilai-nilai yang terkandung. Berbagai pengembangan untuk mengungkap nilai-nilai budaya secara lebih mendalam, dan publikasi hingga ke luar negeri perlu untuk terus digalakkan.
Permasalahan yang ada saat ini adalah masih belum terjalinnya sinergi antar pemangku kepentingan yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan kekayaan peninggalan Pasemah. Pemangku kepentingan tiga sektor; pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan di atas perlu terus dikoordinasikan untuk menghasilkan sinergi yang strategis bagi pengelolaan situs. Akhirnya, kekayaan budaya yang bernilai sangat tinggi ini diharapakan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan budaya dan jati diri bangsa, yang pada gilirannya juga memberikan manfaat secara ekonomi.

Baca selengkapnya...

Selasa, 13 Mei 2008

Menuntut Ilmu dari Pagar Alam Hingga Lahat
















Journey to Megalitic Culture of Ancient Pasemah

Situs Geramat
Arca Manusia (Situs Tinggi Hari)
Batu Putri (Tanjung Telang), Orang mengendong gajah.
Menhir (Batu Aji) Karang Dalam

Kubur batu (Tanjung Aro)
<>

Baca selengkapnya...

Senin, 05 Mei 2008

Pengelolaan Laboratorium Konservasi BCB

(Catatan diskusi dengan Agus Sudaryadi, S.S, Muhammad Mayendra, Sariadi, dan Bayu Satria, BP3 Jambi)
Laboratorium konservasi di lingkungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala idealnya harus ada sebagai sebuah sub sistem yang mendukung usaha konservasi BCB. Kebanyakan kantor BP3 juga sudah memilikinya dengan berbagai kondisi dan intensitas kerja yang berbeda-beda. Namun seringkali laboratorium belum dapat memberikan peran yang semestinya dalam setiap kegiatan-kegiatan konservasi dan pemugaran.
Kenyataan ini seringkali memberikan dampak adanya kekuransempurnaan dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian, antara lain; pertama, kurangnya justifikasi ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan dalam tindakan konservasi dan pemugaran. Kedua, adanya potensi terjadinya “kesalahan” atau dampak negatif suatu perlakuan terhadap objek BCB. Ketiga, kurang berkembangnya wawasan keilmuan yang mendasari tindakan-tindakan pelestarian.


Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu :
1. Sarana dan prasarana
Sebagai sebuah sistem yang bekerja secara bendawi, laboratorium tidak dapat bekerja tanpa adanya sarana. Kendala yang dihadapi adalah mahalnya harga alat-alat dan bahan kerja laboratorium, sehingga proses pengadaannya menjadi relatif sulit. Berikutnya adalah pertimbangan efisiensi dan efektivitas sarana yang dibeli. Setelah dialokasikan anggaran yang cukup untuk sarana laboratorium, apakah dapat memberikan sumbangsih yang sepadan dengan besarnya dana yang telah dikeluarkan. Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu dengan argumentasi, dan nantinya juga harus dijawab dengan kinerja yang dapat diandalkan.
Dalam kondisi ini maka langkah strategis yang harus diambil adalah mengoptimalkan kinerja dengan sarana yang sudah ada, kemudian secara bertahap menambah sarana yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan. Tidak melakukan tindakan dengan alasan sarana yang kurang lengkap bukanlah langkah yang dapat dibenarkan dalam hal ini. Intinya, buktikan dulu dengan sarana ini kita dapat melakukan ini, tapi kita dapat berbuat lebih banyak jika kita punya itu.

2. Sumberdaya manusia
Tidak diragukan lagi SDM merupakan faktor utama dalam setiap pekerjaan, tidak terkecuali laboratorium. Di Indonesia pada umumnya ilmu dasar eksakta seperti kimia, fisika, dan biologi masih dianggap sebagai ilmu yang “sulit”, bahkan dianggap sebagai momok oleh sementara siswa sekolah. Hal ini juga menjadi kendala karena umumnya ketrampilan dasar yang diperoleh dari sekolah formal menjadi relatif lemah. Sementara jumlah sarjana eksakta di lingkungan kantor Balai Pelestarian juga sedikit. Hal ini dapat dipandang sebagai sebuah masalah, namun dapat juga dipandang sebagai peluang. Dengan sedikitnya SDM yang menguasainya maka terbuka peluang untuk dapat berperan secara lebih luas. SDM yang ada di laboratorium harus memiliki optimisme tersendiri dan semangat untuk terus maju dan berkembang.
3. Sistem dan metodologi
Setelah adanya sarana prasarana dan SDM, maka laboratorium dapat berkembang jika ada sistem dan metodologi yang kuat dan berkembang. Perlu diciptakan dan dikembangkan sistem yang dapat memacu kinerja laboratorium. Seluruh kegiatan konservasi dan pemugaran sebisa mungkin melibatkan laboratorium dengan memposisikannya pada tempat yang sesuai.

Gambaran ideal sebuah laboratorium konservasi sangatlah jauh untuk dapat kita wujudkan, bahkan untuk ukuran Balai Konservasi Peninggalan Borobudur sekalipun. Namun gambaran nyata dengan mengoptimalkan sarana serta SDM yang ada dapat kita ciptakan. Dalam hal ini kita perlu melakukan pemetaan sub kegiatan apa saja yang bisa dilakukan oleh laboratorium. Kita perlu menentukan terlebih dahulu posisi strategis apa yang dapat diambil dalam setiap kegiatan. Hal tersebut tentu saja dilihat dari kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki dan dapat dioptimalkan. Sub kegiatan yang dapat dilakukan tidaklah harus lengkap, rumit, dan canggih. Namun didasarkan pada manfaat yang dapat diberikan bagi kegiatan pelestarian. Lebih baik data yang dapat kita hasilkan sedikit tetapi dapat memberikan mafaat, daripada banyak data tetapi tidak dapat berbicara apa-apa.
Secara umum pokok kegiatan yang dapat dilakukan oleh laboratorium konservasi adalah :
1. Penelitian lapangan
Kegiatan konservasi, pemugaran, dan monitoring situs merupakan kegiatan rutin yang secara rutin dilakukan oleh Balai Pelestarian. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut laboratorium harus mempunyai posisi dan peran di dalamnya. Menurut pengamatan, data lapangan dapat diperoleh oleh staf laboratorium dengan peralatan yang metode sederhana. Sebagai contoh data kondisi lingkungan, dengan peralatan sederhana semisal termometer, higrometer, dan peralatan sederhana lainnya dapat diperoleh data kondisi lingkungan yang valid dan bermanfaat. Parameter lain seperti tingkat keasaman atau pH (tanah dan air) juga mudah dilakukan. Peralatan pH meter untuk tanah (soil tester) saat ini juga sudah dapat dibeli dengan harga yang terjangkau. Parameter lain seperti curah hujan sebenarnya dapat kita ukur di lapangan meskipun tidak mempunyai stasiun klimatologi standar. Parameter-parameter penelitian lapangan perlu terus dikembangkan untuk mendapatkan data yang lebih baik, meskipun tanpa alat-alat yang canggih.
2. Tindakan konservasi (terutama BCB bergerak)
Balai Pelestarian pada umumnya memiliki banyak koleksi temuan dengan berbagai jenis material. Benda-benda tersebut harus dikonservasi sebelum disimpan atau didisplay. Setelah ditemukan benda umumnya dalam keadaan kotor dan tidak sempurna karena faktor usia. Tindakan konservasi yang dapat dilakukan oleh laboratorium adalah proses pembersihan, desalinasi (jika perlu), penyambungan dan kamuflase bila objek pecah atau retak, dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan, serta pelapisan untuk melindungi lebih lanjut benda dari pengaruh udara.
Dalam hal ini laboratorium dapat berperan secara aktif dengan mengoptimalkan potensi yang ada. Metode-metode konservasi terhadap berbagai material BCB harus terus dikembangkan oleh setiap laboratorium. Penggunaan bahan-bahan kimia juga harus terus dikaji untuk mencari bahan yang paling efektif dan aman.
3. Analisis
Kegiatan analisis laboratorium merupakan bagian yang paling banyak membutuhkan biaya dan skill SDM. Analisis sebagai sebuah proses pengukuran membutuhkan peralatan ukur yang memadai untuk dapat menghasilkan data yang valid. Meskipun demikian banyak pula analisis sederhana yang dapat dilakukan oleh laboratorium dengan peralatan yang terbatas. Kuncinya dalam hal ini adalah mengoptimalkan manfaat dari data yang dapat dihasilkan meskipun data tersebut sedikit.
Berdasarkan pengamatan, laboratorium konservasi umumnya memiliki timbangan analitis, oven, dan peralatan-peralatan gelas kima. Dengan alat-alat tersebut beberapa parameter fisika dan kimia dapat kita ukur. Parameter tersebut antara lain; berat jenis, kadar air, porositas, kapilaritas dan mungkin beberapa parameter fisika lainnya, sedangkan parameter kimia seperti silika dan karbonat juga dapat diukur. Dengan dukungan buret dan bahan-bahan kimia analisis seperti Titriplex III (Na2 EDTA) dan indikator-indikator maka parameter yang dapat diukur akan semakin lengkap. Namun demikian semuanya akan kembali ke prinsip awal, setelah data tersebut kita dapat, manfaat apa yang dapat kita berikan untuk pelestarian. Sehingga setelah data kita peroleh interpretasi terhadap data merupakan tahapan penting berikutnya untuk membahas secara mendalam agar data yang ada dapat ”berbicara”.



Baca selengkapnya...

Senin, 21 April 2008

Konservasi BCB Bata dan Permasalahannya (Dimuat juga di Jurnal RELIK, BP3 Jambi edisi sept 2007)

A. PENDAHULUAN
Bangunan cagar budaya dari bata banyak dijumpai di Indonesia dan tersebar di berbagai wilayah. Jenis bangunan yang berbahan bata dapat berupa candi, gapura, kolam, sumur, saluran air, dan lain-lain. Banyak bangunan BCB berbahan bata yang memiliki nilai penting tinggi. Namun material bata merupakan material yang sangat rentan akan pelapukan dan kerusakan. Usaha-usaha pelestarian sangat diperlukan untuk menjaga eksistensi BCB berbahan bata tersebut.


Kegiatan konservasi dan pemugaran yang berupa perbaikan struktur bangunan, pemulihan bentuk arsitektur, serta pengawetan material bangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip arkeologi dan konservasi teknis. Pemugaran harus menggunakan konsep otentisitas, yang mencakup otentisitas bahan, desain, teknologi pengerjaan, serta tata letaknya. Prinsip konservasi harus menggunakan teknik dan bahan yang efektif, efisien secara teknis dan ekonomis, tahan lama, serta aman bagi benda dan lingkungannya.
Penanganan konservasi bangunan bata sangat bervariasi tergantung pada tingkat kerusakan dan pelapukan materialnya. Bangunan bata yang tidak mengalami kerusakan serius cukup ditangani dengan perawatan rutin untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Bangunan yang mengalami kerusakan berat perlu ditangani dengan tindakan konservasi yang lebih menyeluruh untuk menghambat kerusakan yang dapat mengancam kelestarian BCB.
Penanganan pemugaran bangunan bata dalam pelaksanannya cukup rumit karena material bata biasanya telah rapuh dan memerlukan teknik perekatan khusus. Dalam pemasangan kembali perlu direkatkan dengan sistem gosok, dan penggantian dengan bata baru sulit dihindari. Metode pemugaran bangunan bata harus dirancang dengan sangat matang, sehingga diperoleh struktur yang kuat dan faktor-faktor penyebab kerusakan dapat diminimalkan.
B. PEMUGARAN BCB BATA DAN PERMASALAHANNYA
Berikut ini adalah beberapa teknik pemugaran yang telah dilakukan pada beberapa bangunan BCB bata (Aris Munandar, 2002) :
1. Pemugaran candi Jiwa di Karawang Jawa Barat. Pemugaran dilakukan dengan pembongkaran bata kulit setebal 1 meter. Pada saat pemasangan kembali dibuat lantai pada bagian dasar bangunan, dan pada bagian dalam dibuat tembok beton yang berfungsi sebagai lapisan kedap air dan perkuatan.
2. Pemugaran candi-candi bata di Trowulan, Jawa Timur. Pemugaran dilakukan dengan membuat perkuatan pada bagian dalam dan lantai kerja dari beton untuk menumpu struktur bangunan bagian atas. Selain itu juga dilakukan pengolesan bahan penolak air pada permukaan bata.
3. Pemugaran Pura Maospati Tonja, Bali. Dibuat lapisan kedap air pada bidang horisontal yang paling lebar dengan Araldite Tar, sehingga dapat menahan infiltrasi air hujan. Lapisan kedap air menjadi semacam payung untuk melindungi struktur bagian bawah.
4. Pemugaran kompleks percandian Muara Takus, Riau. Pemasangan ring beton pada bagian dasar bangunan untuk perkuatan.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah teknik-teknik tersebut efektif untuk menjaga kelestarian struktur bangunan dan material, dan apakah teknik tersebut tidak menimbulkan dampak jangka panjang. Beberapa pelaksanaan pemugaran bangunan BCB bata mengalami ”kesalahan”, yang biasanya muncul setelah pemugaran berakhir. Berikut ini contoh beberapa pemugaran yang menimbulkan dampak negatif (Aris Munandar, 2002) :
1. Pengelupasan material pada candi Brahu di Jawa Timur sebagai akibat penggunaan bahan penolak air (Water repelent) Silicosol.
2. Penggaraman permukaan bata pada candi Jiwa Karawang, yang disebabkan karena pemakaian semen di dalam strutur bangunan tanpa diolesi lapisan kedap air.
3. Kerapuhan bata pengganti yang sangat cepat pada beberapa candi bata di Jawa Timur yang disebabkan oleh rendahnya kualitas bata pengganti.
Beberapa permasalahan di atas hanya merupakan sebagian kasus yang dari berbagai kasus yang terjadi. Masih banyak kasus lain yang terjadi pada usaha pelestarian bangunan bata. Hal ini membutuhkan penjelasan yang komprehensip agar dapat memberikan dasar pengetahuan yang memadai bagi pengembangan teknik konservasi bangunan bata.
C. MATERIAL BATA
Bata adalah bahan yang dibuat dari tanah liat dan bahan campuran lain melalui proses pencetakan dan pemanasan. Pada pembahasan ilmu bahan, bata dan bahan-bahan keramik lainnya dikelompokkan dalam material berbasis silika (Parkani, 1999). Silika di alam terutama ada dalam bahan pasir dan batu. Kekuatan material yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yang digunakan. Secara umum mineral silika akan menentukan sifat kekuatan bahan. Mineral silika ini pula yang bertanggung jawab pada sifat kekerasan pada batu. Struktur kekuatan bata terbentuk pada saat proses pemanasan. Pada proses pemanasan tersebut beberapa mineral akan mengalami pelelehan parsial yang membetuk kristal mineral baru yang lebih kuat. Mineral silika pada proses kristalisasinya akan berasosiasi dengan mineral lain terutama alumina.
Komposisi silika dan alumina sangat dipengaruhi oleh bahan baku tanah liat dan bahan tambahan yang digunakan. Sehingga tidak mengherankan jika kualitas bata antar daerah satu dengan daerah lain sangat bervariasi. Tanah yang baik adalah tanah yang mengandung alumina dan silika yang cukup tinggi. Pada beberapa jenis tanah liat kandungan alumina (lempung) nya sangat tinggi, sehingga perlu penambahan silika dalam bentuk pasir. Pada keramik modern, bahan tambahan yang digunakan adalah kaolin. Komposisi bahan tambahan pada pembuatan bata antar daerah juga seringkali bervariasi untuk mendapatkan hasil bata yang baik.
Selain bahan baku, proses pemanasan juga menentukan kualitas bata. Sebagai bahan buatan, proses pembentukannya ditentukan oleh proses rekristaliasasi mineral-mineral penyusunnya. Secara umum semakin tinggi dan semakin lama proses pemanasan, kualitas bata yang dihasilkan semakin baik. Temperatur ideal pemanasan bahan-bahan keramik adalah 900oC, dimana pada suhu tersebut kristal silika dapat meleleh secara efektif dan mengalami rekristalisasi secara sempurna. Pada pembuatan bata temperatur tersebut sulit dicapai, karena pemanasannya menggunakan bahan pembakar langsung tanpa menggunakan ruang tanur. Berdasarkan pengalaman analisis yang dilakukan di laboratorium dengan metode DTA (Differential Thermal Analysis), ditemukan temperatur pembakaran yang digunakan berkisar antara 250-800 oC.
Pembuatan bata pada umumnya menggunakan bahan pembakar kayu atau sekam padi. Temperatur yang dapat dicapai pada penggunaan kayu lebih baik dibading dengan menggunakan sekam. Informasi bahan pembakar yang digunakan pada bata asli penting untuk diketahui. Analisis terhadap bata asli perlu memperhatikan adanya sisa-sisa arang bahan pembakar yang seringkali masih menempel pada permukaan bata.
Selain mineral utama silika dan alumina, bata juga mengandung senyawa-senyawa lain dalam bentuk mineral dan garam-garam. Senyawa-senyawa tersebut ada di dalam bata karena terkandung dalam bahan baku. Senyawa yang dapat berdampak negatif pada jangka panjang adalah garam-garam terlarut. Garam-garam terlarut ini dapat keluar ke permukaan bata oleh aktivitas air dalam material. Setelah keluar ke permukaan dapat menimbulkan penggaraman, dan lebih lanjut dapat menyebabkan pelapukan dan pengelupasan.

C. KERUSAKAN DAN PELAPUKAN BATA
Faktor utama yang berperan pada pelapukan bata adalah air, disamping sifat material bata sendiri. Air dapat menyebabkan kelembaban bata meningkat dan sangat berpengaruh terhadap kerusakan bata baik secara biologis, khemis, maupun fisis. Air yang berinteraksi dengan bata akan membawa garam-garam terlarut yang ada di dalam bata. Air yang mengandung garam tersebut akan keluar ke permukaan dan menguap oleh adanya sinar matahari dan angin yang akan menimbulkan endapan garam. Kristal-kristal garam dapat menggangu nilai estetis bangunan bata dan lebih lanjut dapat merusak material bata. Kerusakan material akibat endapan garam terjadi melalui proses mekanis, yaitu berkembangnya kristal-kristal garam pada pori-pori, kemudian terjadi tekanan sehingga bata hancur.
Terjadinya tekanan yang menyebabkan pelapukan dan pengelupasan juga dipicu oleh proses hidrasi. Proses hidrasi adalah proses terbentuknya garam hidrat (kristal garam yang mengandung air) dari garam kering (anhidrat) karena adanya air. Garam hidrat mempunyai volume yang lebih besar dari garam anhidrat, sehingga menekan material disekitar pori yang menyebabkan pelapukan.
Selain proses pelapukan material seperti yang diuraikan di atas, garam dapat juga terbentuk di permukaan karena penguapan air (efflorescence). Air yang membawa mineral dapat keluar dari pori sebelum mengalami kristalisasi. Air akan berada di permukaan batu dan mengalami penguapan. Setelah air menguap garam akan tertinggal pada permukaan.
Proses penggaraman akan terjadi lebih cepat jika terdapat sumber-sumber material yang mengandung garam. Terutama jika di dalam bata tersebut terkandung garam-garam terlarut. Hal ini seringkali terjadi jika menggunakan bata pengganti yang dibuat dari bahan dasar yang kurang baik. Pemilihan bata pengganti harus mempertimbangkan kualitas terutama dalam hal kandungan garam terlarut ini.
Proses penggaraman juga akan semakin cepat jika terjadi kapilarisasi air. Air kapiler merupakan air tanah yang biasanya membawa garam-garam terlarut dari tanah. Air tanah yang bersifat asam juga dapat memicu terjadinya endapan garam karena terjadinya reaksi dengan material bata.
D. USAHA MINIMALISASI PELAPUKAN BCB BATA
Pelapukan pada dasarnya adalah peristiwa alamiah yang pasti terjadi pada setiap material. Tidak ada cara untuk menghentikannya, usaha yang dapat dilakukan adalah menghambat proses terjadinya. Konservasi BCB pada hakikatnya adalah usaha untuk memperlambat proses pelapukan dan kerusakan. Metode konservasi yang dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor penyebab pelapukan, sehingga proses pelapukan dapat dihambat melalui pengendalian faktor-faktor tersebut. Pengendalian faktor penyebab pelapukan dilakukan dengan terencana dan memperhatikan dampak-dampak yang mungkin timbul.
Salah satu faktor pelapukan utama pada bangunan BCB bata adalah penggaraman. Usaha untuk meminimalkan terjadinya penggaraman pada bangunan BCB yang dipugar antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan bata pengganti yang berkualitas
Penggaraman disebabkan oleh aktivitas air dalam material bata. Meskipun demikian, penggaraman tidak akan terjadi jika bata yang digunakan tidak mengandung garam terlarut. Pada pemugaran, bata pengganti yang digunakan harus mengandung kadar garam terlarut seminimal mungkin. Berikut ini diuraikan cara analisis garam terlarut menurut uji kualitas bata berdasar SNI (YDNI No. 10 tahun 1964) :
Alat:
Bejana dangkal dengan dasar yang datar berukuran :
Luas alas garis tengah 15 cm (bentuk silinder), atau 15 x 10 cm (bentuk persegi panjang) dan tinggi dinding kurang lebih 5 cm.
Cara:
Untuk pengujian ini dipakai tak kurang dari 5 buah bata utuh. Tiap-tiap bata ditempatkan berdiri pada bidangnya yang datar. Dalam masing-masing bejana dituangkan air suling 250 cc. Bejana-bejana beserta benda-benda percobaan dibiarkan dalam ruang yang mempunyai pergantian udara yang baik. Bila sesudah beberapa hari air telah diisap dan bata-bata kelihatan kering, air yang sama banyaknya dituangkan lagi ke dalam bejana-bejana dan bata-bata dibiarkan lagi hingga kering.
Kemudian bata-bata diperiksa tentang pengeluaran garam-garam putih pada permukaannya. Hasil-hasil penglihatan dinyatakan sebagai berikut :
a. Tidak membahayakan
Bila kurang dari 50% permukaan bata tertutup lapisan garam.
b. Ada kemungkinan membahayakan
Bila 50% atau lebih permukaan bata tertutup lapisan garam yang agak tebal.
c. Membahayakan
Bila lebih dari 50% permukaan bata tertutup lapisan garam yang tebal dan bagian-bagian bata menjadi bubuk atau terlepas.
2. Minimalisasi aktivitas air dalam material
Bangunan bata yang dibongkar secara menyeluruh sampai pondasi, perlu dibuat lapisan kedap air yang diletakkan pada titik 0 sampai 5 cm diatas permukan tanah, dan dipilih pada bidang horisontal paling lebar. Pada bagian tersebut bidang diolesi bahan kedap air dan celah-celahnya diisi dengan mortar dari bahan kedap air yang sama. Hal ini bertujuan untuk mencegah kapilarisasi air tanah yang dapat berdampak negatif. Pada bagian atas bangunan juga dibuat lapisan kedap air untuk meminimalkan meresapnya air hujan dari atas.
Apabila bangunan bata dibongkar sebagian, lapisan kedap air diletakkan pada lapisan paling bawah dari bagian bangunan yang dibongkar dan dipilih pada bidang horisontal yang paling lebar. Pada bagian bangunan bata yang tidak dibongkar penanganannya ada 2 cara yaitu :
a. Pemasangan geomposit pada permukaan dinding bangunan yang posisinya di bawah permukaan tanah.
b. Pembenahan lingkungan di sekeliling bangunan. Dalam hal ini sebenarnya hanya bersifat mengurangi keberadaan air di sekitar bangunan. Perlakuan yang dapat dilakukan antara lain adalah pembuatan sistem drainase disekeliling bangunan. Sistem drainase yang dirancang harus efektif dengan tetap memperhatikan aspek estetika lingkungan dan aspek arkeologis.
3. Memperhatikan Penggunaan Bahan-Bahan Kimia
Penggunaan bahan kimia pada pemugaran dan konservasi harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
a. Penggunaan bahan kimia hanya dilakukan jika benar-benar dibutuhkan.
b. Bahan kimia yang digunakan harus sudah diuji efektivitas dan dampak negatifnya.
c. Bahan yang digunakan sebaiknya berkadar rendah dan tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan.
Secara khusus penggunaan PC semen untuk penggosokan bata hanya bila diperlukan saja dan dibatasi seminimal mungkin, hal ini untuk menjaga pelarutan kalsium bebas. Beton untuk perkuatan struktur perlu diolesi lapisan kedap air. Aplikasi bahan penolak air (water repelent) seperti Masonceal, Rhodorsil, Silicosol, dan sejenisnya hanya bisa dilakukan jika permasalahan air telah diatasi secara sempurna. Yaitu jika sudah tidak terjadi lagi kapilarisasi, dan air hujan juga tidak masuk ke dalam struktur bangunan. Pengolesan bahan tersebut pada material yang mengalami pergerakan air ke arah luar justru menyebabkan terjadinya kerusakan, karena air mendorong permukaan material yang mengandung bahan menjadi terkelupas.
E. PENUTUP
Bangunan BCB bata secara umum merupakan bangunan dengan material yang rentan pelapukan dan kerusakan. Disisi lain keberadaan bangunan BCB bata memiliki nilai penting, dengan jumlah yang banyak dan tersebar di seluruh nusantara. Penanganan konservasi bangunan bata di beberapa BCB justru terjadi dampak negatif yang tidak dikehendaki. Hal ini menuntut perhatian serius sebelum menangani bangunan bata.
Kesimpulan yang dapat diambil pada tulisan ini adalah pentingnya pengetahuan dasar material bata dan interaksinya dengan lingkungan terutama dengan air. Pemugaran dan konservasi BCB bata perlu melakukan usaha minimalisasi dampak dengan pemilihan bata pengganti yang benar-benar berkualitas, minimalisasi aktivitas air dalam material, dan perhatian serius terhadap penggunaan bahan kimia dan semen. Secara umum setiap langkah yang akan diambil pada pemugaran dan konservasi BCB bata harus melalui kajian yang mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Aris Munandar, (2002), Perawatan dan Pengawetan Bangunan Bata, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Aris Munandar, Sudibyo, Muhsidi, (2004), Laporan Studi Teknik Pengerjaan Bahan Pemugaran Candi Bata Tahap IV, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Dukut Santoso, Subyantoro, Aris Munandar, Subagyo, Hendy Soesilo, Sudibyo, (1999), Studi Geoteknik Situs Percandian Muaratakus Propinsi Riau, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Dukut Santoso, Aris Munandar, Sudibyo, Al. Santoso, Suhardi, Kukuh, (2003), Kapilarisasi Air pada Bangunan Bata (Hasil Kajian Penelitian), Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Parkani, (1999), Archaeological Chemistry, Bradshaw & Co, London
Stambolov. T, van Asperen de Boer. J.R.J, (1976), The Deterioration and Conservation of Porous Building Materials in Monuments, International Center for the Study of The Preservation and the Restoration of Cultural Property, Rome
Torraca. G, (1982), Porous Building Material – Material Science for Architectural Conservation, ICCROM, Italy
YDNI No. 10 (11 Januari 1964), Bata Merah sebagai Bahan Bangunan, Departemen Pekerjaan Umum (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan), Bandung
PERNYATAAN TERIMA KASIH
Pada tulisan ini penulis merasa perlu untuk menyampaikan terima kasih dan penghormatan setinggi-tingginya kepada Bpk. Aris Munandar beserta Tim Studi Bata Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Atas kerja keras beliau studi-studi tentang konservasi BCB bata dapat terlaksana. Tulisan ini juga banyak bersumber pada tulisan-tulisan beliau baik dalam bentuk laporan studi atau makalah.

Baca selengkapnya...

Selasa, 01 April 2008

Monitoring of the Borobudur Post Restoration (Presented Paper at 21st Conference on International Cooperation in Conservation, Tokyo 3-7 Dec 2007)


1. INTRODUCTION
Candi Borobudur is the outstanding temple in Indonesia. Located on the Borobudur plain, this temple sits majestically in an open area about forty kilometers from Yogyakarta. It was built around 824 CE by Samaratungga, king of the Syailendra dynasty a flourishing Buddhist kingdom.
Borobudur building finished about 125 years after construction begun, and utilize by religious activities until 11th century. About two century after construction Borobudur wasn’t used by people because of the great disaster in Java Island, and also because of the civilization movement to East Java. Borobudur became forgotten until opened by Raffless at 1814, and than completely cleaned by Hartmann from Dutch Indies Government at 1835.
Borobudur has been restored twice, the first restoration of Borobudur done by Theodore van Erp at 1907-1911 and the second restoration done by Indonesian Government and UNESCO at 1973-1983. Today, it is a UNESCO World Heritage Site in 1991 (number 592) and one of the largest Buddhist temples in south-east Asia.


2. RESTORATION OF BOROBUDUR
The first restoration of Borobudur was conducted by Theodore van Erp. This restoration mission is to reconstruct the temple completely by repairing the area of stupas and foot building. The body of the temple (main wall and balustrade) doesn’t dismantle. Some of the main wall still sloping and the floor made flat by stone blocks layer and mortar. This restoration can return successfully the whole structure of Borobudur Temple.
The main problem of the temple after first restoration is the water penetration. At rainy season the soil beneath the temple become completely wet and produce unstable condition to the wall. The wall-slope increased because sink into the ground and became danger. The water also flows through the stone joint of the wall, and accelerate the deterioration both in chemical and biological.
Indonesian Government with UNESCO cooperates with restore Borobudur in 1973-1983. This second restoration focused on reconstruction of the wall and floor. Concrete slabs structure placed under the wall and floor to maintain the stability of the wall. The sculpture gallery on the wall isolate from the water penetration by waterproof layer behind the wall stone blocks. The concrete slabs under the floor used as drainage system to collect the rain water before pass the drainage pipe.
The structural stability problems of the Borobudur temple already finished after the second restoration. The structural stability continuously monitored to control the temple deformation horizontally and vertically as well.

3. CONSERVATION PROBLEM AFTER RESTORATION
The main problem in Borobudur temple after restoration is the deterioration rate. Borobudur placed in open air environment and affected directly by sun rays, rain water, and air continuously. This condition accelerates the deterioration of the stone. The sun exposure and water will support the biological growth. First, the growth of microbiological such as bacteria, algae, and fungi occur. These organisms grow by takes mineral compounds of the stone as medium. After the growth of microbial, the other organism such as moss and lichens grow. The higher organism like ptheurodophyte and spermatophyte grow than on the stone joint.
The stone mineral structure will be degradable because of the activity of the organism that takes mineral compound and secrete organic acid. The organic acid will solubilize some cations of the stone mineral. Controlling microbiological growth became one of the main activities of conservation in Borobudur.
Other conservation problem of Borobudur temple is the chemical deterioration. Chemical deterioration naturally happened for all type of material, because deterioration reaction is natural phenomena. The problem is when the high rate of deterioration happening. In Borobudur temple the main problem of chemical deterioration is the efflorescent/scaling. Water moving in the stone-pores solubilizes the salt compound. The salt may soluble before water penetrate the stone or from the part of stone compound. After water containing salt reach the surface, water will be evaporates because of sun exposure and wind, and produce salt deposit on the surface.
Salt deposit stop the stone pores and produce further deterioration. Surface of the stone became erodes because of the stress from water inside the stone pore, and some times microbial activities promote this alteration. Salt deposit also formed on the stone joint, and we call cementation. Cementation will join the stone blocks each other and decrease the stability of the monument from mechanical movement. Physical properties of salt deposit very hard and difficult to remove from the surface. The monitoring of salt population and efflorescent important to done, in order to understand the process and stop its formation.

4. MONITORING OF DETERIORATION
The monitoring problem of Borobudur temple is the large size of the building. The length of each side is 121 meter, and the height of the whole building 35.40 meter. Consist of three part of building. The temple-foot as the part of the lowest building construct by two level of foot structure. The body of the temple, consist four levels of main wall and five levels of balustrades with the sculpture gallery (bas-relief). Totally amount panels of bas-relief are 1460 panels. The upper of the building consist of three level terraces with 72 small stupas, and one main stupa at the center. The deterioration monitoring focused on the main wall and balustrade with the bas-relief.
a. Microbiological Growth
The type of microbiological grow on the temple are moss, lichens, and algae. These organisms grow influence to the climate condition. As a country in tropical region, Indonesia has two seasons (rainy and dry season). At rainy season the growth become very quickly, and decreased when dry season enter. At the end of dry season the organism dry and die.
The monitoring of microbiological done at rainy season, while the highest grow of the organisms. In this condition the conservation work are cleaning by mechanical (manual) and water. The monitoring data used for the conservation work to doing the treatment with bio controlling chemicals. The chemicals apply before next rainy season to prevent the growth. According to the monitoring data, conservator applied the chemicals on the temple. Monitoring data also used for the evaluation of the conservation effectiveness.
b. Chemical Deterioration
Chemicals deterioration monitored in Borobudur are efflorescent, salt deposit (scaling), cementation, postule, and alveoli. Efflorescense, scaling, and cementation formed at the same process. The monitoring data used for conservation work for cleaning, both in chemical and mechanical. The location and population of the deterioration from the monitoring used by conservator to conducted the cleaning. Monitoring of alveoli and postule use by conservator to identified the location to be treated.
The whole monitoring of chemical deterioration used to understand the process and minimize the population growth. These chemical deteriorations are still problems to be solved in Borobudur temple.
c. Physical Deterioration
Monitoring of physical deterioration consist of fissuring, erosion, and other physical damages. Monitoring data of fissuring used by conservator to identify the location to be restored. The erosion and other physical damages correlated to the chemical deterioration.
Monitoring of the physical deterioration used to understand the other damages. Fissuring data used to control the stability of the building and stone formation. In the fissuring case, after join the crack, stability of stone formation checked and stabilized by wedging.

5. METHODOLOGY OF DETERIORATION MONITORING
The objective of the monitoring is to quantify the population of each deterioration parameter. The monitoring data used as basic guide of the conservation system, and to describe the deterioration factor and its process. The methodology of the monitoring is by mapping the whole relief. Each parameter done at different time or schedule with different map. The technical drawing used as basic map that represent the formation of the stone blocks. The map printed on the white paper and the result of the observation wrote on it.

6. NEW DEVELOPMENT METHODOLOGY OF MONITORING
The monitoring by mapping can describe the deterioration condition of the stone and useful for conservation work. However the mapping by direct observation difficult to quantified exactly the percentage of the deterioration. The percentage of deterioration area on the stone block calculates by estimation of the observatory. This observation data was sufficient for basic information for the conservation work only. The more exact quantify monitoring system needed for the scientific evaluation of the deterioration change.
The new monitoring methodology develop by modify the direct observation with digital drawing. This methodology suggested by Mr. Costantino Meucci Expert from UNESCO since last two years. The main objective of the UNESCO Expert mission is to understand well the deterioration phenomena of Borobudur especially in the rate of effloresce and scaling. For this purpose we need precise and accurate data of the monitoring for all deterioration type. Because of the large area of the temple, this monitoring done on 16 panels of relief as samples. These panels observed every two month to monitor the deterioration change.
The outline of the monitoring method describe as following:
a. Photograph the panels
b. Import the picture to AutoCAD program and fit the dimention picture with original
c. Field observation to compare the original and picture.
Those photos are printed as needed to be used for survey related to the stone condition in the field, according to the parameter made. The result of the field survey is used for conducting photo digitalization that has been transferred to AutoCAD.
d. Digitalize the area of each deterioration on AutoCAD
Digitalization is conducted by the personnel taking part in conducting the survey in the field to avoid the mistake in processing data. Digitalization lines are made in various colours to differentiate the parameter one to another.
e. Quantify the area on AutoCAD
The volume of each parameter is automatically calculated by using AutoCAD menu then the result of the digitalization is used as the standard of comparison to the observation period, before and after.

7. CONCLUTION
Monitoring is one of the most important activities in conservation after the cultural properties restored. The monitoring useful to control and maintain the restoration system works. And also to understand the whole deterioration and damages that still happen on cultural properties, in order to control its rate. The monitoring data also directly used by conservation worker to identified the location to be conducted the intervention.

8. REREFENCE
Cahyandaru, Kasiyati, Sulihanto, (2007), Evaluation of Monitoring and Repairing Borobudur Temple Related to the Stone Degradation by Seepage Water, Borobudur Heritage Conservation Office
Jutono & Hartadi. S, (1973), Report on the Biodeterioration Processes of Borobudur Stones, Pelita Borobudur, Seri.B No.2
Kumar & Kumar, (1999), Biodeterioration of Stone in Trapical Environtment, the Getty Conservation Institute, USA
Meucci. C, (2007), Degradation and Conservation of the Stone, Candi Borobudur Research Program, Rome
Monitoring Team of BHCI (2006-2007), Monitoring of Deterioration on Borobudur Panels Sample and Traditional Mortar Application, Bimonthly Report from Borobudur Heritage Conservation Office to UNESCO
Parkani, (1999), Archaeological Chemistry, Bradshaw & Co, London
Price. C A, (1996), Stone Conservation; an Overview of Current Research, the Getty Conservation Institute, USA
Stambolov. T, van Asperen de Boer. J.R.J, (1976), The Deterioration and Conservation of Porous Building Materials in Monuments, International Center for the Study of The Preservation and the Restoration of Cultural Property, Rome
Torraca. G, (1982), Porous Building Material – Material Science for Architectural Conservation, ICCROM, Italy

Baca selengkapnya...