Senin, 21 April 2008

Konservasi BCB Bata dan Permasalahannya (Dimuat juga di Jurnal RELIK, BP3 Jambi edisi sept 2007)

A. PENDAHULUAN
Bangunan cagar budaya dari bata banyak dijumpai di Indonesia dan tersebar di berbagai wilayah. Jenis bangunan yang berbahan bata dapat berupa candi, gapura, kolam, sumur, saluran air, dan lain-lain. Banyak bangunan BCB berbahan bata yang memiliki nilai penting tinggi. Namun material bata merupakan material yang sangat rentan akan pelapukan dan kerusakan. Usaha-usaha pelestarian sangat diperlukan untuk menjaga eksistensi BCB berbahan bata tersebut.


Kegiatan konservasi dan pemugaran yang berupa perbaikan struktur bangunan, pemulihan bentuk arsitektur, serta pengawetan material bangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip arkeologi dan konservasi teknis. Pemugaran harus menggunakan konsep otentisitas, yang mencakup otentisitas bahan, desain, teknologi pengerjaan, serta tata letaknya. Prinsip konservasi harus menggunakan teknik dan bahan yang efektif, efisien secara teknis dan ekonomis, tahan lama, serta aman bagi benda dan lingkungannya.
Penanganan konservasi bangunan bata sangat bervariasi tergantung pada tingkat kerusakan dan pelapukan materialnya. Bangunan bata yang tidak mengalami kerusakan serius cukup ditangani dengan perawatan rutin untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Bangunan yang mengalami kerusakan berat perlu ditangani dengan tindakan konservasi yang lebih menyeluruh untuk menghambat kerusakan yang dapat mengancam kelestarian BCB.
Penanganan pemugaran bangunan bata dalam pelaksanannya cukup rumit karena material bata biasanya telah rapuh dan memerlukan teknik perekatan khusus. Dalam pemasangan kembali perlu direkatkan dengan sistem gosok, dan penggantian dengan bata baru sulit dihindari. Metode pemugaran bangunan bata harus dirancang dengan sangat matang, sehingga diperoleh struktur yang kuat dan faktor-faktor penyebab kerusakan dapat diminimalkan.
B. PEMUGARAN BCB BATA DAN PERMASALAHANNYA
Berikut ini adalah beberapa teknik pemugaran yang telah dilakukan pada beberapa bangunan BCB bata (Aris Munandar, 2002) :
1. Pemugaran candi Jiwa di Karawang Jawa Barat. Pemugaran dilakukan dengan pembongkaran bata kulit setebal 1 meter. Pada saat pemasangan kembali dibuat lantai pada bagian dasar bangunan, dan pada bagian dalam dibuat tembok beton yang berfungsi sebagai lapisan kedap air dan perkuatan.
2. Pemugaran candi-candi bata di Trowulan, Jawa Timur. Pemugaran dilakukan dengan membuat perkuatan pada bagian dalam dan lantai kerja dari beton untuk menumpu struktur bangunan bagian atas. Selain itu juga dilakukan pengolesan bahan penolak air pada permukaan bata.
3. Pemugaran Pura Maospati Tonja, Bali. Dibuat lapisan kedap air pada bidang horisontal yang paling lebar dengan Araldite Tar, sehingga dapat menahan infiltrasi air hujan. Lapisan kedap air menjadi semacam payung untuk melindungi struktur bagian bawah.
4. Pemugaran kompleks percandian Muara Takus, Riau. Pemasangan ring beton pada bagian dasar bangunan untuk perkuatan.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah teknik-teknik tersebut efektif untuk menjaga kelestarian struktur bangunan dan material, dan apakah teknik tersebut tidak menimbulkan dampak jangka panjang. Beberapa pelaksanaan pemugaran bangunan BCB bata mengalami ”kesalahan”, yang biasanya muncul setelah pemugaran berakhir. Berikut ini contoh beberapa pemugaran yang menimbulkan dampak negatif (Aris Munandar, 2002) :
1. Pengelupasan material pada candi Brahu di Jawa Timur sebagai akibat penggunaan bahan penolak air (Water repelent) Silicosol.
2. Penggaraman permukaan bata pada candi Jiwa Karawang, yang disebabkan karena pemakaian semen di dalam strutur bangunan tanpa diolesi lapisan kedap air.
3. Kerapuhan bata pengganti yang sangat cepat pada beberapa candi bata di Jawa Timur yang disebabkan oleh rendahnya kualitas bata pengganti.
Beberapa permasalahan di atas hanya merupakan sebagian kasus yang dari berbagai kasus yang terjadi. Masih banyak kasus lain yang terjadi pada usaha pelestarian bangunan bata. Hal ini membutuhkan penjelasan yang komprehensip agar dapat memberikan dasar pengetahuan yang memadai bagi pengembangan teknik konservasi bangunan bata.
C. MATERIAL BATA
Bata adalah bahan yang dibuat dari tanah liat dan bahan campuran lain melalui proses pencetakan dan pemanasan. Pada pembahasan ilmu bahan, bata dan bahan-bahan keramik lainnya dikelompokkan dalam material berbasis silika (Parkani, 1999). Silika di alam terutama ada dalam bahan pasir dan batu. Kekuatan material yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yang digunakan. Secara umum mineral silika akan menentukan sifat kekuatan bahan. Mineral silika ini pula yang bertanggung jawab pada sifat kekerasan pada batu. Struktur kekuatan bata terbentuk pada saat proses pemanasan. Pada proses pemanasan tersebut beberapa mineral akan mengalami pelelehan parsial yang membetuk kristal mineral baru yang lebih kuat. Mineral silika pada proses kristalisasinya akan berasosiasi dengan mineral lain terutama alumina.
Komposisi silika dan alumina sangat dipengaruhi oleh bahan baku tanah liat dan bahan tambahan yang digunakan. Sehingga tidak mengherankan jika kualitas bata antar daerah satu dengan daerah lain sangat bervariasi. Tanah yang baik adalah tanah yang mengandung alumina dan silika yang cukup tinggi. Pada beberapa jenis tanah liat kandungan alumina (lempung) nya sangat tinggi, sehingga perlu penambahan silika dalam bentuk pasir. Pada keramik modern, bahan tambahan yang digunakan adalah kaolin. Komposisi bahan tambahan pada pembuatan bata antar daerah juga seringkali bervariasi untuk mendapatkan hasil bata yang baik.
Selain bahan baku, proses pemanasan juga menentukan kualitas bata. Sebagai bahan buatan, proses pembentukannya ditentukan oleh proses rekristaliasasi mineral-mineral penyusunnya. Secara umum semakin tinggi dan semakin lama proses pemanasan, kualitas bata yang dihasilkan semakin baik. Temperatur ideal pemanasan bahan-bahan keramik adalah 900oC, dimana pada suhu tersebut kristal silika dapat meleleh secara efektif dan mengalami rekristalisasi secara sempurna. Pada pembuatan bata temperatur tersebut sulit dicapai, karena pemanasannya menggunakan bahan pembakar langsung tanpa menggunakan ruang tanur. Berdasarkan pengalaman analisis yang dilakukan di laboratorium dengan metode DTA (Differential Thermal Analysis), ditemukan temperatur pembakaran yang digunakan berkisar antara 250-800 oC.
Pembuatan bata pada umumnya menggunakan bahan pembakar kayu atau sekam padi. Temperatur yang dapat dicapai pada penggunaan kayu lebih baik dibading dengan menggunakan sekam. Informasi bahan pembakar yang digunakan pada bata asli penting untuk diketahui. Analisis terhadap bata asli perlu memperhatikan adanya sisa-sisa arang bahan pembakar yang seringkali masih menempel pada permukaan bata.
Selain mineral utama silika dan alumina, bata juga mengandung senyawa-senyawa lain dalam bentuk mineral dan garam-garam. Senyawa-senyawa tersebut ada di dalam bata karena terkandung dalam bahan baku. Senyawa yang dapat berdampak negatif pada jangka panjang adalah garam-garam terlarut. Garam-garam terlarut ini dapat keluar ke permukaan bata oleh aktivitas air dalam material. Setelah keluar ke permukaan dapat menimbulkan penggaraman, dan lebih lanjut dapat menyebabkan pelapukan dan pengelupasan.

C. KERUSAKAN DAN PELAPUKAN BATA
Faktor utama yang berperan pada pelapukan bata adalah air, disamping sifat material bata sendiri. Air dapat menyebabkan kelembaban bata meningkat dan sangat berpengaruh terhadap kerusakan bata baik secara biologis, khemis, maupun fisis. Air yang berinteraksi dengan bata akan membawa garam-garam terlarut yang ada di dalam bata. Air yang mengandung garam tersebut akan keluar ke permukaan dan menguap oleh adanya sinar matahari dan angin yang akan menimbulkan endapan garam. Kristal-kristal garam dapat menggangu nilai estetis bangunan bata dan lebih lanjut dapat merusak material bata. Kerusakan material akibat endapan garam terjadi melalui proses mekanis, yaitu berkembangnya kristal-kristal garam pada pori-pori, kemudian terjadi tekanan sehingga bata hancur.
Terjadinya tekanan yang menyebabkan pelapukan dan pengelupasan juga dipicu oleh proses hidrasi. Proses hidrasi adalah proses terbentuknya garam hidrat (kristal garam yang mengandung air) dari garam kering (anhidrat) karena adanya air. Garam hidrat mempunyai volume yang lebih besar dari garam anhidrat, sehingga menekan material disekitar pori yang menyebabkan pelapukan.
Selain proses pelapukan material seperti yang diuraikan di atas, garam dapat juga terbentuk di permukaan karena penguapan air (efflorescence). Air yang membawa mineral dapat keluar dari pori sebelum mengalami kristalisasi. Air akan berada di permukaan batu dan mengalami penguapan. Setelah air menguap garam akan tertinggal pada permukaan.
Proses penggaraman akan terjadi lebih cepat jika terdapat sumber-sumber material yang mengandung garam. Terutama jika di dalam bata tersebut terkandung garam-garam terlarut. Hal ini seringkali terjadi jika menggunakan bata pengganti yang dibuat dari bahan dasar yang kurang baik. Pemilihan bata pengganti harus mempertimbangkan kualitas terutama dalam hal kandungan garam terlarut ini.
Proses penggaraman juga akan semakin cepat jika terjadi kapilarisasi air. Air kapiler merupakan air tanah yang biasanya membawa garam-garam terlarut dari tanah. Air tanah yang bersifat asam juga dapat memicu terjadinya endapan garam karena terjadinya reaksi dengan material bata.
D. USAHA MINIMALISASI PELAPUKAN BCB BATA
Pelapukan pada dasarnya adalah peristiwa alamiah yang pasti terjadi pada setiap material. Tidak ada cara untuk menghentikannya, usaha yang dapat dilakukan adalah menghambat proses terjadinya. Konservasi BCB pada hakikatnya adalah usaha untuk memperlambat proses pelapukan dan kerusakan. Metode konservasi yang dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor penyebab pelapukan, sehingga proses pelapukan dapat dihambat melalui pengendalian faktor-faktor tersebut. Pengendalian faktor penyebab pelapukan dilakukan dengan terencana dan memperhatikan dampak-dampak yang mungkin timbul.
Salah satu faktor pelapukan utama pada bangunan BCB bata adalah penggaraman. Usaha untuk meminimalkan terjadinya penggaraman pada bangunan BCB yang dipugar antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan bata pengganti yang berkualitas
Penggaraman disebabkan oleh aktivitas air dalam material bata. Meskipun demikian, penggaraman tidak akan terjadi jika bata yang digunakan tidak mengandung garam terlarut. Pada pemugaran, bata pengganti yang digunakan harus mengandung kadar garam terlarut seminimal mungkin. Berikut ini diuraikan cara analisis garam terlarut menurut uji kualitas bata berdasar SNI (YDNI No. 10 tahun 1964) :
Alat:
Bejana dangkal dengan dasar yang datar berukuran :
Luas alas garis tengah 15 cm (bentuk silinder), atau 15 x 10 cm (bentuk persegi panjang) dan tinggi dinding kurang lebih 5 cm.
Cara:
Untuk pengujian ini dipakai tak kurang dari 5 buah bata utuh. Tiap-tiap bata ditempatkan berdiri pada bidangnya yang datar. Dalam masing-masing bejana dituangkan air suling 250 cc. Bejana-bejana beserta benda-benda percobaan dibiarkan dalam ruang yang mempunyai pergantian udara yang baik. Bila sesudah beberapa hari air telah diisap dan bata-bata kelihatan kering, air yang sama banyaknya dituangkan lagi ke dalam bejana-bejana dan bata-bata dibiarkan lagi hingga kering.
Kemudian bata-bata diperiksa tentang pengeluaran garam-garam putih pada permukaannya. Hasil-hasil penglihatan dinyatakan sebagai berikut :
a. Tidak membahayakan
Bila kurang dari 50% permukaan bata tertutup lapisan garam.
b. Ada kemungkinan membahayakan
Bila 50% atau lebih permukaan bata tertutup lapisan garam yang agak tebal.
c. Membahayakan
Bila lebih dari 50% permukaan bata tertutup lapisan garam yang tebal dan bagian-bagian bata menjadi bubuk atau terlepas.
2. Minimalisasi aktivitas air dalam material
Bangunan bata yang dibongkar secara menyeluruh sampai pondasi, perlu dibuat lapisan kedap air yang diletakkan pada titik 0 sampai 5 cm diatas permukan tanah, dan dipilih pada bidang horisontal paling lebar. Pada bagian tersebut bidang diolesi bahan kedap air dan celah-celahnya diisi dengan mortar dari bahan kedap air yang sama. Hal ini bertujuan untuk mencegah kapilarisasi air tanah yang dapat berdampak negatif. Pada bagian atas bangunan juga dibuat lapisan kedap air untuk meminimalkan meresapnya air hujan dari atas.
Apabila bangunan bata dibongkar sebagian, lapisan kedap air diletakkan pada lapisan paling bawah dari bagian bangunan yang dibongkar dan dipilih pada bidang horisontal yang paling lebar. Pada bagian bangunan bata yang tidak dibongkar penanganannya ada 2 cara yaitu :
a. Pemasangan geomposit pada permukaan dinding bangunan yang posisinya di bawah permukaan tanah.
b. Pembenahan lingkungan di sekeliling bangunan. Dalam hal ini sebenarnya hanya bersifat mengurangi keberadaan air di sekitar bangunan. Perlakuan yang dapat dilakukan antara lain adalah pembuatan sistem drainase disekeliling bangunan. Sistem drainase yang dirancang harus efektif dengan tetap memperhatikan aspek estetika lingkungan dan aspek arkeologis.
3. Memperhatikan Penggunaan Bahan-Bahan Kimia
Penggunaan bahan kimia pada pemugaran dan konservasi harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
a. Penggunaan bahan kimia hanya dilakukan jika benar-benar dibutuhkan.
b. Bahan kimia yang digunakan harus sudah diuji efektivitas dan dampak negatifnya.
c. Bahan yang digunakan sebaiknya berkadar rendah dan tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan.
Secara khusus penggunaan PC semen untuk penggosokan bata hanya bila diperlukan saja dan dibatasi seminimal mungkin, hal ini untuk menjaga pelarutan kalsium bebas. Beton untuk perkuatan struktur perlu diolesi lapisan kedap air. Aplikasi bahan penolak air (water repelent) seperti Masonceal, Rhodorsil, Silicosol, dan sejenisnya hanya bisa dilakukan jika permasalahan air telah diatasi secara sempurna. Yaitu jika sudah tidak terjadi lagi kapilarisasi, dan air hujan juga tidak masuk ke dalam struktur bangunan. Pengolesan bahan tersebut pada material yang mengalami pergerakan air ke arah luar justru menyebabkan terjadinya kerusakan, karena air mendorong permukaan material yang mengandung bahan menjadi terkelupas.
E. PENUTUP
Bangunan BCB bata secara umum merupakan bangunan dengan material yang rentan pelapukan dan kerusakan. Disisi lain keberadaan bangunan BCB bata memiliki nilai penting, dengan jumlah yang banyak dan tersebar di seluruh nusantara. Penanganan konservasi bangunan bata di beberapa BCB justru terjadi dampak negatif yang tidak dikehendaki. Hal ini menuntut perhatian serius sebelum menangani bangunan bata.
Kesimpulan yang dapat diambil pada tulisan ini adalah pentingnya pengetahuan dasar material bata dan interaksinya dengan lingkungan terutama dengan air. Pemugaran dan konservasi BCB bata perlu melakukan usaha minimalisasi dampak dengan pemilihan bata pengganti yang benar-benar berkualitas, minimalisasi aktivitas air dalam material, dan perhatian serius terhadap penggunaan bahan kimia dan semen. Secara umum setiap langkah yang akan diambil pada pemugaran dan konservasi BCB bata harus melalui kajian yang mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Aris Munandar, (2002), Perawatan dan Pengawetan Bangunan Bata, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Aris Munandar, Sudibyo, Muhsidi, (2004), Laporan Studi Teknik Pengerjaan Bahan Pemugaran Candi Bata Tahap IV, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Dukut Santoso, Subyantoro, Aris Munandar, Subagyo, Hendy Soesilo, Sudibyo, (1999), Studi Geoteknik Situs Percandian Muaratakus Propinsi Riau, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Dukut Santoso, Aris Munandar, Sudibyo, Al. Santoso, Suhardi, Kukuh, (2003), Kapilarisasi Air pada Bangunan Bata (Hasil Kajian Penelitian), Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Parkani, (1999), Archaeological Chemistry, Bradshaw & Co, London
Stambolov. T, van Asperen de Boer. J.R.J, (1976), The Deterioration and Conservation of Porous Building Materials in Monuments, International Center for the Study of The Preservation and the Restoration of Cultural Property, Rome
Torraca. G, (1982), Porous Building Material – Material Science for Architectural Conservation, ICCROM, Italy
YDNI No. 10 (11 Januari 1964), Bata Merah sebagai Bahan Bangunan, Departemen Pekerjaan Umum (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan), Bandung
PERNYATAAN TERIMA KASIH
Pada tulisan ini penulis merasa perlu untuk menyampaikan terima kasih dan penghormatan setinggi-tingginya kepada Bpk. Aris Munandar beserta Tim Studi Bata Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Atas kerja keras beliau studi-studi tentang konservasi BCB bata dapat terlaksana. Tulisan ini juga banyak bersumber pada tulisan-tulisan beliau baik dalam bentuk laporan studi atau makalah.

Baca selengkapnya...

Selasa, 01 April 2008

Monitoring of the Borobudur Post Restoration (Presented Paper at 21st Conference on International Cooperation in Conservation, Tokyo 3-7 Dec 2007)


1. INTRODUCTION
Candi Borobudur is the outstanding temple in Indonesia. Located on the Borobudur plain, this temple sits majestically in an open area about forty kilometers from Yogyakarta. It was built around 824 CE by Samaratungga, king of the Syailendra dynasty a flourishing Buddhist kingdom.
Borobudur building finished about 125 years after construction begun, and utilize by religious activities until 11th century. About two century after construction Borobudur wasn’t used by people because of the great disaster in Java Island, and also because of the civilization movement to East Java. Borobudur became forgotten until opened by Raffless at 1814, and than completely cleaned by Hartmann from Dutch Indies Government at 1835.
Borobudur has been restored twice, the first restoration of Borobudur done by Theodore van Erp at 1907-1911 and the second restoration done by Indonesian Government and UNESCO at 1973-1983. Today, it is a UNESCO World Heritage Site in 1991 (number 592) and one of the largest Buddhist temples in south-east Asia.


2. RESTORATION OF BOROBUDUR
The first restoration of Borobudur was conducted by Theodore van Erp. This restoration mission is to reconstruct the temple completely by repairing the area of stupas and foot building. The body of the temple (main wall and balustrade) doesn’t dismantle. Some of the main wall still sloping and the floor made flat by stone blocks layer and mortar. This restoration can return successfully the whole structure of Borobudur Temple.
The main problem of the temple after first restoration is the water penetration. At rainy season the soil beneath the temple become completely wet and produce unstable condition to the wall. The wall-slope increased because sink into the ground and became danger. The water also flows through the stone joint of the wall, and accelerate the deterioration both in chemical and biological.
Indonesian Government with UNESCO cooperates with restore Borobudur in 1973-1983. This second restoration focused on reconstruction of the wall and floor. Concrete slabs structure placed under the wall and floor to maintain the stability of the wall. The sculpture gallery on the wall isolate from the water penetration by waterproof layer behind the wall stone blocks. The concrete slabs under the floor used as drainage system to collect the rain water before pass the drainage pipe.
The structural stability problems of the Borobudur temple already finished after the second restoration. The structural stability continuously monitored to control the temple deformation horizontally and vertically as well.

3. CONSERVATION PROBLEM AFTER RESTORATION
The main problem in Borobudur temple after restoration is the deterioration rate. Borobudur placed in open air environment and affected directly by sun rays, rain water, and air continuously. This condition accelerates the deterioration of the stone. The sun exposure and water will support the biological growth. First, the growth of microbiological such as bacteria, algae, and fungi occur. These organisms grow by takes mineral compounds of the stone as medium. After the growth of microbial, the other organism such as moss and lichens grow. The higher organism like ptheurodophyte and spermatophyte grow than on the stone joint.
The stone mineral structure will be degradable because of the activity of the organism that takes mineral compound and secrete organic acid. The organic acid will solubilize some cations of the stone mineral. Controlling microbiological growth became one of the main activities of conservation in Borobudur.
Other conservation problem of Borobudur temple is the chemical deterioration. Chemical deterioration naturally happened for all type of material, because deterioration reaction is natural phenomena. The problem is when the high rate of deterioration happening. In Borobudur temple the main problem of chemical deterioration is the efflorescent/scaling. Water moving in the stone-pores solubilizes the salt compound. The salt may soluble before water penetrate the stone or from the part of stone compound. After water containing salt reach the surface, water will be evaporates because of sun exposure and wind, and produce salt deposit on the surface.
Salt deposit stop the stone pores and produce further deterioration. Surface of the stone became erodes because of the stress from water inside the stone pore, and some times microbial activities promote this alteration. Salt deposit also formed on the stone joint, and we call cementation. Cementation will join the stone blocks each other and decrease the stability of the monument from mechanical movement. Physical properties of salt deposit very hard and difficult to remove from the surface. The monitoring of salt population and efflorescent important to done, in order to understand the process and stop its formation.

4. MONITORING OF DETERIORATION
The monitoring problem of Borobudur temple is the large size of the building. The length of each side is 121 meter, and the height of the whole building 35.40 meter. Consist of three part of building. The temple-foot as the part of the lowest building construct by two level of foot structure. The body of the temple, consist four levels of main wall and five levels of balustrades with the sculpture gallery (bas-relief). Totally amount panels of bas-relief are 1460 panels. The upper of the building consist of three level terraces with 72 small stupas, and one main stupa at the center. The deterioration monitoring focused on the main wall and balustrade with the bas-relief.
a. Microbiological Growth
The type of microbiological grow on the temple are moss, lichens, and algae. These organisms grow influence to the climate condition. As a country in tropical region, Indonesia has two seasons (rainy and dry season). At rainy season the growth become very quickly, and decreased when dry season enter. At the end of dry season the organism dry and die.
The monitoring of microbiological done at rainy season, while the highest grow of the organisms. In this condition the conservation work are cleaning by mechanical (manual) and water. The monitoring data used for the conservation work to doing the treatment with bio controlling chemicals. The chemicals apply before next rainy season to prevent the growth. According to the monitoring data, conservator applied the chemicals on the temple. Monitoring data also used for the evaluation of the conservation effectiveness.
b. Chemical Deterioration
Chemicals deterioration monitored in Borobudur are efflorescent, salt deposit (scaling), cementation, postule, and alveoli. Efflorescense, scaling, and cementation formed at the same process. The monitoring data used for conservation work for cleaning, both in chemical and mechanical. The location and population of the deterioration from the monitoring used by conservator to conducted the cleaning. Monitoring of alveoli and postule use by conservator to identified the location to be treated.
The whole monitoring of chemical deterioration used to understand the process and minimize the population growth. These chemical deteriorations are still problems to be solved in Borobudur temple.
c. Physical Deterioration
Monitoring of physical deterioration consist of fissuring, erosion, and other physical damages. Monitoring data of fissuring used by conservator to identify the location to be restored. The erosion and other physical damages correlated to the chemical deterioration.
Monitoring of the physical deterioration used to understand the other damages. Fissuring data used to control the stability of the building and stone formation. In the fissuring case, after join the crack, stability of stone formation checked and stabilized by wedging.

5. METHODOLOGY OF DETERIORATION MONITORING
The objective of the monitoring is to quantify the population of each deterioration parameter. The monitoring data used as basic guide of the conservation system, and to describe the deterioration factor and its process. The methodology of the monitoring is by mapping the whole relief. Each parameter done at different time or schedule with different map. The technical drawing used as basic map that represent the formation of the stone blocks. The map printed on the white paper and the result of the observation wrote on it.

6. NEW DEVELOPMENT METHODOLOGY OF MONITORING
The monitoring by mapping can describe the deterioration condition of the stone and useful for conservation work. However the mapping by direct observation difficult to quantified exactly the percentage of the deterioration. The percentage of deterioration area on the stone block calculates by estimation of the observatory. This observation data was sufficient for basic information for the conservation work only. The more exact quantify monitoring system needed for the scientific evaluation of the deterioration change.
The new monitoring methodology develop by modify the direct observation with digital drawing. This methodology suggested by Mr. Costantino Meucci Expert from UNESCO since last two years. The main objective of the UNESCO Expert mission is to understand well the deterioration phenomena of Borobudur especially in the rate of effloresce and scaling. For this purpose we need precise and accurate data of the monitoring for all deterioration type. Because of the large area of the temple, this monitoring done on 16 panels of relief as samples. These panels observed every two month to monitor the deterioration change.
The outline of the monitoring method describe as following:
a. Photograph the panels
b. Import the picture to AutoCAD program and fit the dimention picture with original
c. Field observation to compare the original and picture.
Those photos are printed as needed to be used for survey related to the stone condition in the field, according to the parameter made. The result of the field survey is used for conducting photo digitalization that has been transferred to AutoCAD.
d. Digitalize the area of each deterioration on AutoCAD
Digitalization is conducted by the personnel taking part in conducting the survey in the field to avoid the mistake in processing data. Digitalization lines are made in various colours to differentiate the parameter one to another.
e. Quantify the area on AutoCAD
The volume of each parameter is automatically calculated by using AutoCAD menu then the result of the digitalization is used as the standard of comparison to the observation period, before and after.

7. CONCLUTION
Monitoring is one of the most important activities in conservation after the cultural properties restored. The monitoring useful to control and maintain the restoration system works. And also to understand the whole deterioration and damages that still happen on cultural properties, in order to control its rate. The monitoring data also directly used by conservation worker to identified the location to be conducted the intervention.

8. REREFENCE
Cahyandaru, Kasiyati, Sulihanto, (2007), Evaluation of Monitoring and Repairing Borobudur Temple Related to the Stone Degradation by Seepage Water, Borobudur Heritage Conservation Office
Jutono & Hartadi. S, (1973), Report on the Biodeterioration Processes of Borobudur Stones, Pelita Borobudur, Seri.B No.2
Kumar & Kumar, (1999), Biodeterioration of Stone in Trapical Environtment, the Getty Conservation Institute, USA
Meucci. C, (2007), Degradation and Conservation of the Stone, Candi Borobudur Research Program, Rome
Monitoring Team of BHCI (2006-2007), Monitoring of Deterioration on Borobudur Panels Sample and Traditional Mortar Application, Bimonthly Report from Borobudur Heritage Conservation Office to UNESCO
Parkani, (1999), Archaeological Chemistry, Bradshaw & Co, London
Price. C A, (1996), Stone Conservation; an Overview of Current Research, the Getty Conservation Institute, USA
Stambolov. T, van Asperen de Boer. J.R.J, (1976), The Deterioration and Conservation of Porous Building Materials in Monuments, International Center for the Study of The Preservation and the Restoration of Cultural Property, Rome
Torraca. G, (1982), Porous Building Material – Material Science for Architectural Conservation, ICCROM, Italy

Baca selengkapnya...