Kamis, 15 Mei 2008

Peninggalan Megalitik Pasemah dan Permasalahan Konservasinya


Peninggalan megalitik merupakan benda bernilai sejarah tinggi karena berasal dari zaman prasejarah, jauh sebelum manusia mengenal tulisan. Indonesia memiliki peninggalan megalitik yang cukup banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Salah satu peninggalan megalitik penting yang ada adalah megalitik pasemah di wilayah Sumatra bagian selatan. Saat ini peninggalan megalitik pasemah lokasinya tersebar di wilayah administratif Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam. Daerah ini terletak di antara Bukit Barisan dan Pegunungan Gumay, di lereng Gunung Dempo.

Keberadaan peninggalan situs megalitik Pasemah mulai terangkat setelah penelitian yang dilakukan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870, Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun 1927. Pada awalnya hampir semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi tempat tersebut dan melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan berbeda dengan penelitian terdahulu. Ia pendapat bahwa peninggalan megalitik di Pasemah tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah Pasemah, ia menghasilkan publikasi lengkap tentang megalitik di daerah tersebut.
Nilai penting tinggalan megalitik Pasemah terutama adalah pada ketuaan usianya, yang diperkirakan sekitar 2000 tahun sebelum masehi atau sekitar 4000 tahun yang lalu. Kita dapat membayangkan pada masa itu kebudayaan manusia di dunia masih belum terlalu berkembang, namun di tanah Pasemah telah hidup budaya masyarakat yang cukup maju.
Kemajuan budaya nenek moyang tersebut dapat dilihat dari tinggalan yang ada. Menurut Wijaya (2007) semua patung peninggalan budaya Megalitik yang kini masih ada di dataran tinggi Pasemah, seperti di dusun Tinggi Hari, Pulau Panggung (Tanjung Sirih), Geramat, Karang Dalam, Tebingtinggi, Pagaralam Pagun, Belumai, Tanjung Aro, serta Tegur Wangi, menunjukkan karakter dinamis. Misalnya, patung “Macan Kawin” -berdasarkan penyebutan masyarakat setempat yakni di Dusun Pagaralam Pagun- menunjukkan gerak dan sikap tubuh yang tidak simetris dan terlihat atraktif.
Pada artefak-artefak sezaman itu di Jawa, tidak ditemukan patung-patung utuh atau lengkap seperti di Pasemah. Yang ditemukan, berupa dolmen (batu besar penutup kubur), menhir (tiang batu besar, monumen), atau lumpang batu. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, yang hingga kini masih berlangsung tradisi megalitik itu, juga tidak ditemukan patung-patung sedinamis dan selengkap patung-patung di Pasemah. Yang ada, hanya patung-patung berbentuk totem (hanya kepala dan badan) yang bersifat kaku. Ini menunjukkan pematung-pematung lahir dari sebuah kebudayaan yang memiliki cita rasa seni dan budaya yang tinggi. Menariknya, kebesaran karya patung-patung di Pasemah ini, pada zaman itu, hanya berada di Pasemah. Pada waktu yang sama, di Eropa dan sebagian besar Asia, serta Amerika dan Afrika, hanya ditemukan patung-patung berbentuk totem dan artefak megalitik lainnya yang bersifat statis atau kaku.
Kemajuan budaya masa itu juga dapat diamati dari arca-arca yang ada. Arca-arca manusia di situs Tinggi Hari, Tanjung Telang, Tegur Wangi, Belumai, dan Geramat telah memakai atribut yang menunjukkan kemajuan budaya. Hal ini dapat diamati dari pakaian, hiasan kepala, kalung, hingga gelang kaki yang dikenakan. Interaksi manusia dengan binatang juga menunjukkan kemajuan budaya, misalnya manusia menunggang kerbau (situs Belumai), manusia menunggang rusa (situs Geramat), manusia menggendong gajah (situs Tanjung Telang), dan manusia dililit ulat (situs Tanjung Aro).
Kemajuan budaya dengan teknologinya dapat juga dilihat dari kemampuan nenek moyang dalam mengatur batu-batu yang berukuran sangat besar, misalnya pada pembuatan kubur batu. Penguasaan teknologi juga dapat dilihat dari adanya lukisan dinding dalam kubur batu. Sebagain besar lukisan telah hilang namun jejak-jejaknya masih dapat ditemukan dengan jelas di situs Tanjung Aro, dan situs Gunung Megang (Jarai).
Berdasarkan uraian di atas kita harus mulai menyadari bahwa tinggalan megalitik Pasemah memiliki nilai budaya yang sangat tinggi sehingga harus dilestarikan dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan paradigma yang dikembangkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, konsevasi situs meliputi pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan. Ketiga hal ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan agar kelestarian situs, dalam arti bendanya maupun nilai-nilai yang terkandung tetap terjaga.
Permasalahan Konservasi
Permasalahan pelestarian yang dihadapi situs megalitik Pasemah sebagaimana situs lainnya adalah kondisinya yang telah rapuh akibat usia, dan pengaruh lingkungan yang memicu pelapukan. Lingkungan situs yang terbuka menyebabkan benda cagar budaya (BCB) selalu terkena hujan, sinar matahari, angin, dan kelembaban secara terus-menerus selama ribuan tahun. Faktor-faktor tersebut akan memicu terjadinya pelapukan secara kimia, dan juga memicu pertumbuhan organisme perusak batu. Berdasar penelitian, organisme perusak batu yang banyak dijumpai adalah lumut (moss), jamur kerak (lichene), ganggang (algae), dan tumbuh-tumbuhan.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab, dalam hal ini Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3-Jambi) adalah dilakukan tindakan konservasi secara periodik. Setiap periode waktu tertentu situs-situs tersebut diberi perlakuan perawatan yang meliputi pembersihan, treatment dengan bahan kimia jika perlu, dan dibenahi lingkungannya. Untuk melindungi benda dari pengaruh hujan dan sinar matahari, beberapa situs telah dilengkapi dengan cungkup dan pagar besi. Proses pelapukan benda pada dasarnya tidak dapat dihentikan karena merupakan peristiwa alamiah. Tindakan konserasi yang dilakukan hanyalah upaya untuk memperlambat proses tersebut, sehingga dapat dipertahankan hingga anak cucu nanti.
Tantangan selanjutnya setelah BCB tersebut dilestarikan –sesuai paradigma yang dikembangkan Depbudpar di atas- adalah optimalisasi pemanfaatannya. Usaha keras pelestarian ini tidak terlalu berarti jika tidak diikuti dengan pemanfaatan, seperti pariwisata budaya, pendidikan, penelitian, dan sebagainya. Sehingga kekayaan budaya yang dimiliki dan telah dilestarikan tersebut dapat memberi manfaat yang besar bagi pengembangan budaya daerah dan budaya bangsa, sekaligus bermanfaat secara ekonomi akibat kegiatan pariwisata. Beradasarkan informasi dalam buku tamu yang disimpan Juru Pelihara di tiap-tiap situs ternyata pengunjung yang datang cukup banyak, termasuk pengunjung mancanegara (antara lain Jepang, Taiwan, Amerika, Australia, Austria, Perancis, Jerman, dan lain-lain). Potensi ini tentu saja harus digarap dengan serius dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Setelah pelestarian dan pemanfaatan, pengelolaan situs selanjutnya adalah pengembangan. Terobosan-terobosan baru perlu dilakukan untuk pengembangan situs yang sejalan dengan nilai-nilai budaya BCB dan kaidah arkeologis. Pengembangan prasarana wilayah perlu dikoordinasikan dengan semua pemangku kepentingan dan dinas-dinas terkait. Sehingga akses jalan untuk mencapai lokasi menjadi mudah, dan fasilitas bagi pengunjung juga memadai. Di masing-masing lokasi bisa juga dikembangkan sarana pendukung, misalnya gardu pandang, paket wisata alam atau pedesaan, mini musem, pusat informasi, kios makanan-minuman tradisional, kios souvenir, dan lain-lain.
Selain pengembangan prasarana untuk pariwisata juga perlu dikembangkan berbagai aktivitas lain yang mendukung pengembangan apresiasi nilai-nilai budaya peninggalan Pasemah. Pelajar dapat didekatkan dengan kekayaan budayanya dengan kemah budaya misalnya, di lokasi sekitar situs dengan diskusi budaya yang intensif. Berbagai kegiatan penelitian perlu dikembangkan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk mengungkap lebih dalam nilai-nilai yang terkandung. Berbagai pengembangan untuk mengungkap nilai-nilai budaya secara lebih mendalam, dan publikasi hingga ke luar negeri perlu untuk terus digalakkan.
Permasalahan yang ada saat ini adalah masih belum terjalinnya sinergi antar pemangku kepentingan yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan kekayaan peninggalan Pasemah. Pemangku kepentingan tiga sektor; pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan di atas perlu terus dikoordinasikan untuk menghasilkan sinergi yang strategis bagi pengelolaan situs. Akhirnya, kekayaan budaya yang bernilai sangat tinggi ini diharapakan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan budaya dan jati diri bangsa, yang pada gilirannya juga memberikan manfaat secara ekonomi.

Baca selengkapnya...

Selasa, 13 Mei 2008

Menuntut Ilmu dari Pagar Alam Hingga Lahat
















Journey to Megalitic Culture of Ancient Pasemah

Situs Geramat
Arca Manusia (Situs Tinggi Hari)
Batu Putri (Tanjung Telang), Orang mengendong gajah.
Menhir (Batu Aji) Karang Dalam

Kubur batu (Tanjung Aro)
<>

Baca selengkapnya...

Senin, 05 Mei 2008

Pengelolaan Laboratorium Konservasi BCB

(Catatan diskusi dengan Agus Sudaryadi, S.S, Muhammad Mayendra, Sariadi, dan Bayu Satria, BP3 Jambi)
Laboratorium konservasi di lingkungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala idealnya harus ada sebagai sebuah sub sistem yang mendukung usaha konservasi BCB. Kebanyakan kantor BP3 juga sudah memilikinya dengan berbagai kondisi dan intensitas kerja yang berbeda-beda. Namun seringkali laboratorium belum dapat memberikan peran yang semestinya dalam setiap kegiatan-kegiatan konservasi dan pemugaran.
Kenyataan ini seringkali memberikan dampak adanya kekuransempurnaan dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian, antara lain; pertama, kurangnya justifikasi ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan dalam tindakan konservasi dan pemugaran. Kedua, adanya potensi terjadinya “kesalahan” atau dampak negatif suatu perlakuan terhadap objek BCB. Ketiga, kurang berkembangnya wawasan keilmuan yang mendasari tindakan-tindakan pelestarian.


Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu :
1. Sarana dan prasarana
Sebagai sebuah sistem yang bekerja secara bendawi, laboratorium tidak dapat bekerja tanpa adanya sarana. Kendala yang dihadapi adalah mahalnya harga alat-alat dan bahan kerja laboratorium, sehingga proses pengadaannya menjadi relatif sulit. Berikutnya adalah pertimbangan efisiensi dan efektivitas sarana yang dibeli. Setelah dialokasikan anggaran yang cukup untuk sarana laboratorium, apakah dapat memberikan sumbangsih yang sepadan dengan besarnya dana yang telah dikeluarkan. Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu dengan argumentasi, dan nantinya juga harus dijawab dengan kinerja yang dapat diandalkan.
Dalam kondisi ini maka langkah strategis yang harus diambil adalah mengoptimalkan kinerja dengan sarana yang sudah ada, kemudian secara bertahap menambah sarana yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan. Tidak melakukan tindakan dengan alasan sarana yang kurang lengkap bukanlah langkah yang dapat dibenarkan dalam hal ini. Intinya, buktikan dulu dengan sarana ini kita dapat melakukan ini, tapi kita dapat berbuat lebih banyak jika kita punya itu.

2. Sumberdaya manusia
Tidak diragukan lagi SDM merupakan faktor utama dalam setiap pekerjaan, tidak terkecuali laboratorium. Di Indonesia pada umumnya ilmu dasar eksakta seperti kimia, fisika, dan biologi masih dianggap sebagai ilmu yang “sulit”, bahkan dianggap sebagai momok oleh sementara siswa sekolah. Hal ini juga menjadi kendala karena umumnya ketrampilan dasar yang diperoleh dari sekolah formal menjadi relatif lemah. Sementara jumlah sarjana eksakta di lingkungan kantor Balai Pelestarian juga sedikit. Hal ini dapat dipandang sebagai sebuah masalah, namun dapat juga dipandang sebagai peluang. Dengan sedikitnya SDM yang menguasainya maka terbuka peluang untuk dapat berperan secara lebih luas. SDM yang ada di laboratorium harus memiliki optimisme tersendiri dan semangat untuk terus maju dan berkembang.
3. Sistem dan metodologi
Setelah adanya sarana prasarana dan SDM, maka laboratorium dapat berkembang jika ada sistem dan metodologi yang kuat dan berkembang. Perlu diciptakan dan dikembangkan sistem yang dapat memacu kinerja laboratorium. Seluruh kegiatan konservasi dan pemugaran sebisa mungkin melibatkan laboratorium dengan memposisikannya pada tempat yang sesuai.

Gambaran ideal sebuah laboratorium konservasi sangatlah jauh untuk dapat kita wujudkan, bahkan untuk ukuran Balai Konservasi Peninggalan Borobudur sekalipun. Namun gambaran nyata dengan mengoptimalkan sarana serta SDM yang ada dapat kita ciptakan. Dalam hal ini kita perlu melakukan pemetaan sub kegiatan apa saja yang bisa dilakukan oleh laboratorium. Kita perlu menentukan terlebih dahulu posisi strategis apa yang dapat diambil dalam setiap kegiatan. Hal tersebut tentu saja dilihat dari kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki dan dapat dioptimalkan. Sub kegiatan yang dapat dilakukan tidaklah harus lengkap, rumit, dan canggih. Namun didasarkan pada manfaat yang dapat diberikan bagi kegiatan pelestarian. Lebih baik data yang dapat kita hasilkan sedikit tetapi dapat memberikan mafaat, daripada banyak data tetapi tidak dapat berbicara apa-apa.
Secara umum pokok kegiatan yang dapat dilakukan oleh laboratorium konservasi adalah :
1. Penelitian lapangan
Kegiatan konservasi, pemugaran, dan monitoring situs merupakan kegiatan rutin yang secara rutin dilakukan oleh Balai Pelestarian. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut laboratorium harus mempunyai posisi dan peran di dalamnya. Menurut pengamatan, data lapangan dapat diperoleh oleh staf laboratorium dengan peralatan yang metode sederhana. Sebagai contoh data kondisi lingkungan, dengan peralatan sederhana semisal termometer, higrometer, dan peralatan sederhana lainnya dapat diperoleh data kondisi lingkungan yang valid dan bermanfaat. Parameter lain seperti tingkat keasaman atau pH (tanah dan air) juga mudah dilakukan. Peralatan pH meter untuk tanah (soil tester) saat ini juga sudah dapat dibeli dengan harga yang terjangkau. Parameter lain seperti curah hujan sebenarnya dapat kita ukur di lapangan meskipun tidak mempunyai stasiun klimatologi standar. Parameter-parameter penelitian lapangan perlu terus dikembangkan untuk mendapatkan data yang lebih baik, meskipun tanpa alat-alat yang canggih.
2. Tindakan konservasi (terutama BCB bergerak)
Balai Pelestarian pada umumnya memiliki banyak koleksi temuan dengan berbagai jenis material. Benda-benda tersebut harus dikonservasi sebelum disimpan atau didisplay. Setelah ditemukan benda umumnya dalam keadaan kotor dan tidak sempurna karena faktor usia. Tindakan konservasi yang dapat dilakukan oleh laboratorium adalah proses pembersihan, desalinasi (jika perlu), penyambungan dan kamuflase bila objek pecah atau retak, dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan, serta pelapisan untuk melindungi lebih lanjut benda dari pengaruh udara.
Dalam hal ini laboratorium dapat berperan secara aktif dengan mengoptimalkan potensi yang ada. Metode-metode konservasi terhadap berbagai material BCB harus terus dikembangkan oleh setiap laboratorium. Penggunaan bahan-bahan kimia juga harus terus dikaji untuk mencari bahan yang paling efektif dan aman.
3. Analisis
Kegiatan analisis laboratorium merupakan bagian yang paling banyak membutuhkan biaya dan skill SDM. Analisis sebagai sebuah proses pengukuran membutuhkan peralatan ukur yang memadai untuk dapat menghasilkan data yang valid. Meskipun demikian banyak pula analisis sederhana yang dapat dilakukan oleh laboratorium dengan peralatan yang terbatas. Kuncinya dalam hal ini adalah mengoptimalkan manfaat dari data yang dapat dihasilkan meskipun data tersebut sedikit.
Berdasarkan pengamatan, laboratorium konservasi umumnya memiliki timbangan analitis, oven, dan peralatan-peralatan gelas kima. Dengan alat-alat tersebut beberapa parameter fisika dan kimia dapat kita ukur. Parameter tersebut antara lain; berat jenis, kadar air, porositas, kapilaritas dan mungkin beberapa parameter fisika lainnya, sedangkan parameter kimia seperti silika dan karbonat juga dapat diukur. Dengan dukungan buret dan bahan-bahan kimia analisis seperti Titriplex III (Na2 EDTA) dan indikator-indikator maka parameter yang dapat diukur akan semakin lengkap. Namun demikian semuanya akan kembali ke prinsip awal, setelah data tersebut kita dapat, manfaat apa yang dapat kita berikan untuk pelestarian. Sehingga setelah data kita peroleh interpretasi terhadap data merupakan tahapan penting berikutnya untuk membahas secara mendalam agar data yang ada dapat ”berbicara”.



Baca selengkapnya...