Rabu, 26 Maret 2008

UNDANG-UNDANG CAGAR BUDAYA ITU AKHIRNYA MENGGIGIT

Kasus pencurian dan pemalsuan koleksi museum Radayapustaka Solo menjadi berita hangat akhir-akhir ini. Meskipun proses hukum masih berlangsung, namun telah dapat dilihat berbagai kemajuan penanganannya. Beberapa orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Koleksi-koleksi yang telah dijual pun sudah mulai teridentifikasi keberadaannya. Apresiasi yang tinggi layak diberikan untuk saksi pelapor, serta kerja keras Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3 Jawa Tengah) dan berbagai pihak lainnya.
Aparat penegak hukum telah bekerja keras untuk mengungkap kasus tersebut sebaik-baiknya. Peran Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menjadi sangat sentral dalam mejerat pelaku kejahatan terhadap benda cagar budaya (BCB) tersebut. Diharapkan para pelaku dapat diadili atas perbuatannya dengan hukuman yang setimpal, serta kasusnya dapat terungkap secara tuntas.
Penggunaan Undang-Undang No.5 tahun 1992 tersebut sebagai alat ”penggebuk” oleh aparat penegak hukum merupakan momen penting dalam sejarah pelestarian BCB di Indonesia.

Sebelumnya Undang-Undang No.5 tahun 1992 merupakan produk hukum yang kurang ”populer” di kalangan aparat dan masyarakat. Sangat jarang Undang-Undang ini digunakan sebagai alat penjerat, sehingga banyak kasus pelanggaran atas pelestarian yang akhirnya menguap begitu saja.
Jika kita menengok ke belakang ada beberapa kasus besar pelanggaran terhadap pelestarian BCB di Indonesia. Kasus tersebut antara lain; pengrusakan situs batu tulis di Bogor atas nama ”harta karun”, bangunan Gandok Tengen Ambarukmo yang ”tertabrak” pembangunan Ambarukmo Plaza, dan yang paling baru adalah pengrusakan Stadion Menteng Jakarta untuk pembangunan fisilitas parkir dan taman. Disamping kasus-kasus kecil lainnya yang terjadi di berbagai daerah. Menghadapi kasus-kasus besar tersebut Undang-Undang No.5 tahun 1992 seolah-olah tak punya gigi, dan sampai saat ini para pelakunya juga bebas melenggang.
Kasus besar yang tidak ada penyelesaian tersebut seolah-olah menenggelamkan keberadaan Undang-Undang No.5 tahun 1992. Hal ini menyebabkan masyarakat mempunyai kesadaran yang kurang atas pentingnya pelestarian BCB. Masyarakat belum mampu menempatkan BCB sebagai aset penting bangsa yang harus dilestarikan, serta tidak menyadari akan resiko (baca: hukuman) yang ditanggung apabila melanggar. Untuk membangun kesadaran tersebut, Undang-Undang sebagai produk hukum yang sah harus disosialisasikan secara terus-menerus. Undang-undang juga harus diasah taringnya untuk dapat menggigit setiap pelaku pelanggaran. Dalam hal ini setiap pemangku kepentingan pelestarian BCB harus selalu proaktif menggunakan Undang-Undang sebagai aturan hukum yang harus selalu ditegakkan.
Pada kasus besar yang tidak terselesaikan di atas, peran para pemangku kepentingan belum begitu terlihat dalam membentuk opini apalagi ke proses hukum. Sebagai contoh pada kasus Stadion Menteng, opini yang berkembang kala itu justru dari para selebritis (antara lain Kaka Slank, Primus Yustisio, dan Iwan Fals) yang menyayangkan terjadinya pengrusakan tersebut. Dari kalangan pejabat yang paling lantang berkoar adalah Menpora Adyaksa Dault, yang lucunya akan mengancam pengambil-kebijakan dengan Undang-Undang No.5 tahun 1992. Menteri yang tidak membidangi pelestarian BCB justru akan menggunakan Undang-Undang No.5 tahun 1992 untuk melindungi aset olah raga sekaligus cagar budaya tersebut. Walaupun akhirnya kasus itu juga hilang begitu saja tanpa adanya penyelesaian yang jelas.
Hikmah di balik tragedi
Meledaknya kasus Radyapustaka kembali menguji Undang-Undang No.5 tahun 1992 apakah mampu berfungsi sebagai alat pelindung BCB yang efektif atau tidak. Kita semua berharap agar kasus tersebut dapat terungkap setuntas-tuntasnya dan pelakunya dapat dihukum secara setimpal. Sebagai sebuah tragedi pelestarian BCB di Indonesia, kasus tersebut juga membuka hikmah bagi penegakan hukum perlindungan BCB. Ibarat ungkapan orang jawa jika terjatuh di jalan pun masih mengatakan untung, karena tidak tertabrak kendaraan dan kita jadi tahu tempat itu tidak aman.
Hikmah penting yang dapat diambil dari kasus tersebut antara lain; pertama, Undang-Undang No.5 tahun 1992 menjadi dikenal dan mengingatkan akan ancaman pelanggaran pelesarian BCB. Adanya hukuman kepada pelaku mengingatkan kepada publik bahwa pelanggaran pelestarian BCB adalah tindakan melanggar hukum yang serius. Kedua, tergugahnya kesadaran masyarakat akan tingginya nilai penting BCB dan perlunya menjaga kelestariannya. Kasus Radyapustaka ternyata mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan apresiasi yang sangat baik terhadap upaya pengungkapan kasus ini. Ketiga, tergugahnya kesadaran lembaga legislatif untuk memperhatikan Undang-Undang pelestarian BCB sebagai materi pembahasan yang penting. Hal ini berkaitan dengan tengah diajukannya revisi Undang-Undang pelestarian BCB untuk menyempurnakan Undang-Undang No.5 tahun 1992. Konsep revisi Undang-Undang tersebut antara lain untuk mengakomodasi pembagian kewenangan pelestarian BCB sesuai dengan sistem otonomi daerah. Revisi tersebut juga akan memperberat ancaman hukuman yang dapat dikenakan bagi pelanggar, di samping adanya penghargaan bagi para pelaku pelestari. Revisi juga akan memuat konsep partisipasi masyarakat secara lebih luas dalam pengelolaan BCB. Meledaknya kasus Radyapustaka yang menyedot perhatian masyarakat semoga menggugah para anggota legislatif untuk lebih memperhatikan pembahasan revisi Undang-Undang tersebut.
Akhirnya kita semua berharap dan memberi dukungan moral kepada semua pihak yang sedang bekerja keras agar dapat menyelesaikan kasus ini sebaik-baiknya. Indonesia sebagai negara yang sangat kaya dengan peninggalan budaya sudah saatnya untuk memperhatikan pelestarian BCB secara serius. Peninggalan budaya tersebut harus terus dilestarikan dengan dukungan masyarakat agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Mengingat peninggalan budaya sangat penting untuk modal dasar pembangunan kepribadian bangsa, disamping potensi lainnya untuk pendidikan, penelitian, pariwisata, dan lain-lain.

Tidak ada komentar: